Rabu, 02 April 2014

Madrigal dan Tornamen Gaia

BAB 1 (Permulaan cerita.)
         
Permulaan waktu …
          Kisah lama menyangkut di angan-angan para pendongeng masa lalu, dimana mulut mereka mengisahkan pertikaian antara yang tersuci melawan yang terbejat. Antara mahluk suci yang bersinggah di awan-awan, dan mahluk jijik dan dusta yang tertelan di bawah perut bumi.
          Para pendongeng bercerita, setiap waktu selalu, kisah sama yang terus menerus diceritakan. Tidak ada perbedaan. Tidak ada alur cerita yang lain. Diceritakan kejadian sebelum masa intelek Sir Issac Newton, sebelum berjayanya sang maestro Leonardo Da Vinci, sebelum legenda Dewa-dewi Yunani kuno.
          Kita mungkin sudah membaca kisah pendongeng kuno ini. Atau mungkin sudah mendengarnya. Kelas agama, mengingatkan kita betapa pentingnya kita meneguhkan iman, betapa pentingnya untuk memilih jalan kehidupan …
          Pendongeng kuno ini, mengisahkan soal malaikat yang berperang melawan para iblis yang terkutuk. Peperangan sengit yang telah selesai sebelum permulaan waktu, sebelum ledakan besar. Antara mahluk bercahaya dengan mahluk gelap gulita.
Sang pendongeng bersemangat sekali ketika setiap kali hendak memulai cerita, dia berdiri dengan kedua kakinya, penonton yang bergumbul-gumbul terduduk tenang saat dia memulai ceritanya. Ketika dia menyebut-nyebut nama Iblis, penonton merasa tercengang … tak mampu bernapas.
Ya, memang betul, gestur sang pendongeng ini, dimana dia mengenakan pakaian gaun hitam yang membentang hingga menutupi jari-jari kakinya dan sebuah topi kerucut terbuat dari kulit sapi, serta topeng kecil yang sekedar menutup mata dan hidungnya, sungguh membentuk atmosfirnya tersendiri. Bahkan sebelum dia bercerita juga, kita semua merasakan tegang duluan.
1938. Di antara kerumanan orang yang terobesi oleh cerita-cerita malaikat dan iblis, Aku, seorang petani desa yang bekerja di ladang kecil, berumur tiga-belas tahun, terus menyaksikan pendongeng ini bercerita kisahnya. Aku tidak pernah bosan, tak pernah jenuh mendengarnya menceritakan kisah yang sama berulang-ulang kali. Fantasiku semakin bertambah setiap kali dia memberikan kisah.
Aku lekat-lekat memperhatikan pendongeng bertopeng ini, sungguh mengagumkan. Dengan kata-kata, dia mampu menarik aku kedalam suasana. Membuatku membayangkan diri, berfantasi soal malaikat dan iblis.
Dalam hidupku, aku selalu yakin tentang keadaanku. Aku yakin, bahwa aku sebenarnya bukan seorang petani dari sebuah desa kecil. Dalam wadah mausia ini, aku tahu aku lebih daripada ini. Lebih dari sebatas laki-laki saja. Sesungguhnya, aku terus berpikir tentang kemungkinan apakah aku adalah seorang malaikat yang di masukan dalam wadah berbentuk manusia?
Banyak orang seusiaku menyebutku bodoh, menyebutku sebagai seorang petani yang banyak berkhayal yang tidak-tidak. Tapi sungguh, aku tidak pernah merasa seyakin ini sebelumnya. Bahkan, kedua orang tuaku saja di kala masih hidup, mengatakan aku memang terlalu banyak berkhayal.
Tidak ada yang mendukung pemikiranku …
Maka aku sekarang berada disini, menuliskan kisah ini demi membuat kalian yang merasa seperti diriku merasa tidak sendirian. Biarkan yang ragu menghina pemikiranmu, biarkan mereka berkata ini hanya fantasi gilamu. Tapi, ingat, aku telah membuktikan diriku.
Silahkan lanjutkan jika kalian ingin tahu kelanjutan dari ceritaku, silahkan tutup buku jika menurut kalian aku hanya mengada-ngada saja. Semua itu, ada di keputusan tangan kalian.
Baiklah, jika kau sudah memutuskan, aku akan segera memulai ceritaku. Memulai kisah perjalananku menemukan jati diriku sebagai seorang malaikat yang terpenjara dalam bentuk tubuh manusia ini.
* * *
1941. Seingatku, waktu itu adalah beberapa hari sebelum musim gugur tiba disini. Kampung halamanku adalah sebuah desa kecil yang memiliki tanah ladang seluas mata memandang. Subur dan mengesankan indah. Di mana bisa kau temukan petani yang tengah berkerja keras di siang bolong demi mendapatkan hasil panen yang sebenarnya tidak seberapa. Rumah-rumah kecil kami sungguh mencitrakan kehidupan sederhana yang harmonis dan penuh senyum murah.
Daun-daun kering sedikit-demi-sedikit mulai berjatuhan disini, di desa yang terletak di Pince, negara Perancis. Seharusnya musim gugur ini kunikmati dengan bersenang-senang dan berlari-lari di ladang milik petani tua. Tapi untukku, itu sesungguhnya hanya mimpi saja.
Perang berkecamuk di berbatasan wilayah kami, dimana tank-tank baja menghancurkan kota-kota indah kami, dan meriam-meriam berpeluru besar berjatuhan bak air hujan kehancuran. Nestapa sungguh negara tercintaku. Aku tidak pernah membayangkan ini, kehidupan yang selalu harus diselingi oleh berbagai macam latihan-latihan mendadak demi mempersiapkan diri di kala militer Nazi menyerang tanah airku.
Latihannya sangat menyiksa tubuhku. Di subuh hari, ketika aku tertidur lelap setelah bekerja seharian di ladang, tiba-tiba suara sirene lantang menghantam gendang telingaku. Membuatku tersadar dan terkesiap, dengan degupan jantung tak karuan.
Aku tinggal bersama seseorang pemilik bar di desa Pince. Satu-satunya bar yang menyajikan hidangan lezat serta minuman khas daerah sini. Oliver de Beauvoir, pemilik bar yang sedang dalam masa pertengahannya –tiga-puluh-lima tahun, tiba-tiba mendobrak pintu kamar kecilku tanpa mengetuk dulu.
Wajahnya meneteskan keringat, mata biru lautnya terlihat gelisah, rambut yang biasanya terlihat rapi kini acak-acakan sekali layaknya ombak ganas, pakaian kemeja kotak-kotaknya kumuh, tubuh jangkungnya menunduk. Aku sudah tinggal disini kurang-lebih lima tahun setelah kematian kedua orang tuaku dan sering menilik wajah Oliver, dan menurutku dia memang orang yang mudah sekali panik. Mendengar sirene bersuara saja, dia sudah berlari lunggang-langgang ke kamarku dengan wajah pucat pasi. Tetapi, saat aku memandang wajahnya, tidak pernah kulihat Oliver sepanik sekarang.
“Madrigal! Cepat turun dari kasur, sirene sedang berbunyi sekarang!” Oliver menyeru lantang. Teriakannya terdengar seperti kicauan burung gagak, sangat tidak nyaman di telingaku.
“Cepat, kita harus kumpul di lapangan sekarang!” lanjutnya, masih lantang. “Dan cepat bangunkan Sophia.” Seiring perintah itu, Oliver langsung mengangkat kaki dari pintu kamarku.
Setengah tersadar, aku hempaskan kaki telanjangku menyentuh lantai dingin yang sangat menggigil. Desiran angin subuh memang selalu dingin di Pince. Aku segera melaksanakan perintah Oliver, ku angkat kaki menuju kasur yang tepat berada di samping kasur kayu tuaku.
Di sana, seorang perempuan berambut emas terang sedang berbaring miring, membungkus diri oleh selimut putih yang tipis. Matanya terpejam, sangat tenang sekali. Bulu matanya lentik, alisnya emas tipis. Hidungnya mancung dan sempurna. Kulitnya halus dan seputih gading gajah India. Bibirnya kecil, memancarkan warna merah cerah. Dialah Sophia Adélie, adik perempuanku yang sangat cantik.
Sebelumnya, harus kuberitahu sesuatu tentang adikku Sophia. Ada alasan khusus mengapa Sophia tidak terbangun saat sirene dan Oliver mengusik subuh ini. Dan alasan itu sangat membuat hatiku remuk, hancur berkeping-keping, dan sejujurnya aku tak mampu mengatakannya. Tapi … aku harus.
Sophia Adélie, adik perempuan cantikku yang senang sekali memberikan senyum manis kepada masyarakat disini, sebenarnya … menderita penyakit tuli. Ya, itulah pemberian yang setimpal, wajah cantik luar biasa yang dikaruniai oleh Tuhan harus diimbangi oleh kekurangan yang menonjol. Tidak ada orang yang sempurna.
Tidak ada.
Aku mulai mengguncang-guncang tubuh Sophia hingga dia perlahan membuka matanya. Dia mengerakkan tubuhnya menghadapku. Mata hijau zaitun sangat memberikan kesan penyayang dan hangat. Tatapan penuh peduli menurutku.
Sophia setengah membuka mata, lalu dia mengeluarkan suara mengantuk. “Ada apa, Madrigal? Kenapa kamu membangunkan aku? Kan masih pagi.” Sophia berkata.
Aku tidak membalas dengan kata-kata. Satu Bahasa yang harus kukuasi dengan baik adalah Bahasa orang tuli, Bahasa isyarat. Aku gesit mengerak-gerak jemari tanganku. Merangkai makna dari gestur-gestur tanganku hingga Sophia dapat mengerti maksudnya.
“Latihan mendadak lagi?” Sophia mengerutkan alis emasnya.
Aku membalas dengan anggukan kepala.
Sekarang Sophia kelihatannya kaget, dan cepat-cepat dia melepaskan diri dari balutan selimut putih dan turun dari kasur. Kami bersama-sama berlari keluar kamar, kemudian menuruni serangkaian anak tangga hingga kami keluar dari dalam bar milik Oliver. Tak lupa mengenakan alas kaki sebelum keluar rumah.
Di luar, sirene semakin terdengar lantang lagi. Kuperhatikan banyak sekali orang yang berlari gontai menuju satu tujuan. Mereka masih mengenakan pakian tidur mereka. Sama seperti aku dan Sophia. Ada beberapa orang yang lari berbondong-bondong untuk mencapai lapangan utama. Aku melirik kearah Sophia, lalu memberi anggukan kepala, petanda bahwa kita harus bergegas ke lapangan.
Situasi heboh yang diiringi oleh perasaan paranoia akan serangan bom Nazi, sudah biasa terasa disini. Awalnya kami menganggap remeh latihan rutin ini karena kami semua percaya bahwa tidak akan ada pasukan yang mampu menghancurkan divisi pertahanan kami. Tapi, kenyataan itu malah berujung pahit.
Sudah hampir dua tahun, tentara Perancis tercinta kami mengangkat senjata terhadap negara penginjak jerman. Pertarungan sengit awalnya dilakukan di luar perbatasan wilayah kami, namun secara cepat situasi itu berubah. Kini, tank-tank penghancur dan pasukan ekterminasi Nazi sudah mendobrak pintu wilayah Perancis, dan sebentar lagi, mereka akan menguasai Ibu kota Paris. Maka, kami semuanya harus bersiap-siap untuk menghadang agar kami tidak berada dalam cengkraman aturan Nazi.
Aku dan Sophia berlari cepat, gaun tidur putih Sophia terlihat mengibas udara malam. Sumber suara sirene semakin terasa dekat. Ketika aku menengak kepala keatas, kulihat lampu-lampu tembak sedang menerangi langit subuh yang masih belum menampakan spektrum cahayanya.
Aku sudah tahu fungsi lampu-lampu itu. Pasukan udara Nazi memang dikenal sebagai armada yang suka menyerang pada malam hari. Dimana pengawasan dan kewaspadaan masyarakat dan pasukan musuh sedang lengah. Mereka biasanya datang dikamuflase oleh gulitanya malam, dan bom-bom mereka berjatuhan seperti geluduk yang mengejutkan. Membunuh banyak sekali penduduk biasa yang sama sekali tidak terlibat perang dalam sekali serangan.
Taktik perang kebiadaban mereka.
Dan lampu-lampu tembak itu, diharapkan bisa mendeteksi dan memperingati akan kehadiran pesawat-pesawat pembom Nazi sebelum mereka menurunkan muatan. Dengan begitu, pasukan pertahanan seadanya di wilayah kami masih bisa menjatuhkan pesawat mereka.
Setelah melewati beberapa rumah bertingkat dua dan lubung padi, Kami akhirnya sampai di lapangan utama Pince. Kutilik adalah dua atau tiga lampu yang ditembakan ke langit, serta beberapa senjata anti-pesawat yang sudah siap untuk menembak. Di sebelah kiri dan kananku, aku melihat ada cukup banyak benteng berupa tumpukan karung berisi pasir yang di gunakan sebagai sarang mesin senapan. Tapi, asal kalian tahu, mereka yang mengoperasikan mesin-mesin senapan itu bukan berasal dari militer Perancis. Mereka adalah masyarakat disini yang menjadi militia dan mereka sama sekali tidak memiliki pengalaman dalam peperangan.
Aku tidak tahu apakah ini adalah latihan biasa atau tentara Nazi memang sedang perjalanannya menuju kemari. Sirene kencang itu tidak menjelaskannya. Di belakangku, kurasakan genggaman tangan yang sangat erat dari Sophia. Aku terus berada di dekatnya, menjaganya jika terjadi apa-apa sekarang. Siap mempertaruhkan nyawaku demi menjaga adikku tercinta. Satu-satunya saudara yang kumiliki dalam dunia ini.
“Madrigal! Sophia!” suara keras yang memanggil nama kami terdengar dari belakang pundakku. Aku menoleh dan melihat Oliver sedang berlari mendekati kami. Pakaian kemeja kotak-kotaknya sekarang terlihat dibanjiri oleh keringat.
Sebelum aku sempat memanggil namanya, suara toa yang lebih kencang dari suara sirene kini terdengar. Situasai sekarang sangat ramai oleh suara-suara yang sangat merusak gendang telinga. Di balik toa, kulihat ada seseorang berbadan tegap, berbahu lebar, wajah tua dengan kumis tebal serta bibir yang menurun, bersiap-siap berbicara. Dia mengenakan pakaian militer Perancis, serta topi komandan.
Tidak ada yang tahu namanya, tapi dia sering-sering dijuluki dengan nama, Le Protecteur. Yang artinya, Si penjaga.
Kami setia memperhatikan apa yang hendak di katakan oleh orang itu. “Attention s'il vous plaît, tout le monde. Seperti yang sudah kami ajarkan, tolong semuanya bersiap-siap di posisinya masing-masing! Ingat, latihan ini demi menjaga keberlangsungan hidup kalian!”
Setelah pernyataan Le Protecteur, semua orang langsung bubar secara teratur. Setelah berbulan-bulan latihan, mereka sudah tahu dimana posisinya masing-masing untuk mempersiapkan kedatangan tentara Nazi nantinya. Sebelum menempati posisi, aku terlebih dahulu menoleh ke Sophia, dan memberikan terjemahan Bahasa isyarat soal apa yang baru saja di katakana oleh orang berpakaian militer itu.
Dia mengangguk cepat, menandakan dia mengerti penjelasanku. Kemudian, secara langkas kami berpisah dan bergegas menempati posisi masing-masing. Aku terlebih dahulu mengambil senjata dalam gudang persenjataan, lalu melesat pergi.
Aku di suruh untuk menjaga bagian utara desa. Dimana disana terdapat banyak bangunan-bangunan tua yang sudah lama tak ditempati. Aku bersama lima orang lainnya, yang usianya jauh lebih tua dan dewasa dariku, melangkah gesit memasuki sebuah bangunan yang terbuat dari bebebatuan dan diperkuat oleh semen. Hawa mengerikan yang berusaha melahap kami semua terasa nyata sekarang.
Kami kemudian dibagi menjadi dua kelompok, yang satu kelompoknya terdiri dari tiga orang yang masing-masing memegang senapan rampasan perang. Ada juga yang hanya memegang pistol sebagai senjatanya.
Ini memang latihan saja, tapi suasana disini terasa seakan-akan Nazi benar-benar berniat menyerang Pince dalam waktu dekat. Semua orang terlihat waspada dan membuka matanya lebar-lebar, membuat simulasi yang sangat terasa nyata.
Posisiku adalah di atap bangunan tua itu bersama seorang pemuda desa bernama Aleron, sedangkan satu orang lagi bertugas menjaga pintu masuk kami dari dalam.
Aku secara secara khusus diberikan sebuah binokuler tua agar dapat memandang jauh. Berguna agar aku bisa melihat kedatangan para Nazi sebelum mereka meledakan senjata mereka. Pemilihan bangunan ini sebagai posisi pengawasan juga tidak dipilih berdasarkan hitung kancing belaka, tentu bukan. Bangunan ini secara khusus dipiliha karena merupakan bangunan tertinggi di Pince Utara, sehingga dari ketinggian beberapa meter dari tanah, aku bisa melihat lebih jauh lagi dan menghilangkan kesempatan musuh untuk melakukan serangan mendadak.
Mematahkan unsur serangan dadakan musuh, adalah taktik terpenting. Begitulah mereka mengajarkanku selama latihan dadakan. Angin dingin sangat mendesir beku di atap sekarang. Aku tak kuasa menahan gigilku sehingga tanganku juga ikut bergemetar hebat. Merusak keterampilanku dalam mengawasi.
Ada sebuah tangan yang menepok pundakku. “Hé! Ne tremble pas tant, vous allez perdre l'accent!” Rekan pejuangku berbisik. (Jangan bergemetar, kau akan kehilangan fokus!)
Aku mengangguk dan berusaha mengurangi gelentar tubuhku. Tapi rasanya sungguh mendekati mustahil, dan aku terus tergigil. Dan itu membuat rekanku yang berusia dua-puluh-tahun dan berambut hitam pekat, mendesis kesal.
“Ah! Donnez-moi les jumelles, Madrigal. Vous êtes incompetent!” Dia kemudian berusaha merebut teropong itu dariku. (Ah! Berikan teropong itu padaku, Madrigal. Kau tidak kompeten!)
Ketika aku menolak dan melawan, dia terlihat marah dan berkata kencang, “Donne-moi à moi, Madrigal! Maintenant!” (Berikan padaku, Madrigal! Sekarang!)
Tapi aku menolak keras. Aku sungguh tidak ingin memberikan teropong ini padanya karena inilah tugas yang dibebankan padaku. Dan aku tidak ingin memberikan tugas yang jelas-jelas ditimpa untukku.
Ketika dia menahan tubuhku, aku mendesis. “NON! Laisser aller, Aleron.” (Tidak! Lepaskan, Aleron.)
Terganggu oleh pertikaian kecil kami soal masalah siapa yang mendapatkan teropong, mendadak mata falsetku melihat sebuah cahaya merah terang yang muncul beberapa meter dari bangunan tua yang kutempati. Cahaya itu tampak diikuti oleh kabut merah pekat. Sekilas, aku melihat kabut itu seperti …
“Merde! gaz toxique!” (Sial! Gas beracun!) Salah seorang dari kelompok lain berteriak. “Les nazis nous attaquent!”
Kami semua sekarang panik. Bagaimana tidak, kami hanya membawa senjata bekas dan perlengkapan seadanya. Itu berarti kami tidak mempunyai masker gas untuk melindungi diri dari kabut beracun itu. Mataku terus terpaku kearah kabut itu yang semakin mendekati dan membalut bangunan tua yang menjadi pos kami. Ketika rekanku, Aleron, bergerak menjauh agar terhindar kontak dengan kabut itu, entah kenapa aku masih mempertahankan posisiku.
Saat ini, aku kaku seolah-olah kakiku telah dilapisi semen keras. Aku ingin melangkah, kabur dan mencari posisi aman dari serangan kabut mendadak mereka. Tetapi aku tidak bisa.
Pikiranku melantur. Ketakutan setengah mati jika berita yang mereka katakan mengenai serangan Nazi itu benar adanya. Aku berusaha untuk menolak gagasan itu, tapi … bukti nyata sekarang terpampang jelas di depan mataku. Berupa gas merah yang semakin mendekati tubuhku. Membalutku dalam kabutan racunnya.
“Sedang apa kau?! Allons!” Tak kusangka, Aleron kembali dan menarikku dari kesemuan. Memaksa kedua kakiku untuk melangkah masuk kedalam bangunan.
Kami segera bergabung dengan regu lain yang juga sama terkejutnya dengan serangan mendadak ini. Tidak ada yang mempersiapkan alat untuk mengantisipasi serangan racun. Kami kesini hanya membawa senjata, pakaian yang kami kenakan, serta satu buah botol minum. Tidak ada yang bisa digunakan untuk menyelamatkan hidup kami.
Saat ini, kami terperangkap seperti tikus yang dimangsa oleh seekor kucing besar dan ganas.
“Tutup pintunya!” perintah seseorang. “Kita tidak mau gas itu masuk kedalam! Tutup semua celah agar gas itu tidak masuk!”
Kami langsung melaksanakan perintahnya. Menutupi semua ceruk celah yang bisa kami temukan dengan kain-kain kotor yang masih terdapat dalam bangunan ini. Kemudian, kami semua terdiam. Menunggu kepastian, dan ternyata, rencananya berhasil. Tidak ada gas yang lolos dari sumbatan kain-kain itu.
“Bagaimana ini?! Kita tidak bisa kabur sekarang! Merde! Merde!” seorang laki-laki berpakaian sweater abu-abu rajutan serta topi kecil terdengar panik. “Kita terjebak, Nazi menyerang! Dan kita akan mati sebentar lagi juga! Tamatlah riwayatku! Oh non …”
Kami semua yang terperangkap merasa demikian. Kami akan mati, dan kami tahu itu. Tidak ada belas kasihan jika bertatapan langsung dengan pasukan Nazi. Mereka akan mengeksekusimu, membunuhmu ditempat. Tak peduli apakah engkau mempunyai sanak saudara, istri, anak, atau usiamu masih belia.
Tidak ada belas kasihan. Itu yang paling ditegaskan ketika kami semua diberi penjelasan masalah Nazi dan apabila kami tertangkap.
Tiba-tiba laki-laki berpakaian sweater rajutan itu menembak mata kearahku. Tatapannya geram sekaligus ketakutan. Dia berjalan kearahku, jari telunjuknya terarah pada wajahku. “Ini … ini semua karenamu, bocah! Karena – karena kamu tidak melakukan tugas pengawasanmu dengan baik, kita – kita sekarang terperangkap dan menunggu mati! garçon stupide!
Bohong jika kukatakan aku tidak terperanjat dan merasa bersalah. Dan bohong kalau kukatakan ini semua karenaku. Yang sebenarnya membuat ulah adalah Aleron, dan dia sekarang terlihat menghindari adu mulut dengan siapapun. Tapi, aku juga tidak ingin menariknya kedalam masalah ini, karena aku tahu, walaupun aku menyalahkan dirinya karena situasi sekarang, itu tetap tidak akan mengubah fakta bahwa kami terperangkap dan gas mematikan tengah mendekat.
Hé! Jelaskan mengapa kau lengah dalam pekerjaanmu!” Dia didera emosi. “Karena kau, kita semua dalam situasi ini!”
Aku menghela napas, dan enggan menjawab. Lelaki bersweater rajutan itu semakin naik pitam ketika jawaban yang kuberikan hanyalah sebatas helaan napas saja. Dan dia langsung melangkah cepat menuju posisi berdiriku. Tangannya dikepalnya kuat siap menghantamku, matanya berapi-api.
Sudah biasa bagi wajahku dihajar habis-habisan. Rasa sakit yang mengalir bak voltase listrik, sudah biasa kurasakan. Semenjak kedua orang tuaku meninggal dan sebelum aku dan Sophia diasuh oleh Oliver, aku sudah biasa dihantam hingga babak belur karena sering mencuri makanan kecil untuk memuaskan perutku dan adikku Sophia. Jadi, aku tidak mempermasalahkan niatan orang marah ini.
Aku menelan ludah, kemudian mengangkat wajahku keatas, bersiap-siap menerima tinjunya. Dia mengangkat tangan, sebelum dia sempat menurunkan dan menonjok wajahku, tiba-tiba pintu bangunan mendobrak terbuka. Semua perhatianku tertuju pada pintu kayu yang entah kenapa tiba-tiba terbuka, padahal sudah dipastikan pintu itu terkunci. Anehnya lagi, kabut merah itu tidak masuk kedalam. Kabut itu hanya bertenggar disana, menutupi jalan keluar kami satu-satunya.
Kami semua merasa terheran.
“Ce que le ...” gumamku bingung, kujatuhkan senapanku. (Apa yang …)
Dalam hitungan detik selanjutnya, kelima orang dalam ruangan ini mengangkat laras senapan bekas mereka dan membidik tepat kearah kabut itu. Menunggu apakah ini adalah trik muslihat teknologi Nazi atau bukan. Kami semua sudah tahu -mau itu petani atau saudagar kaya sekalipun- bahwa negara Nazi Jerman mempunyai senjata mutakhir dan teknologi penuh tipu muslihat yang tujuannya hanya untuk membunuh saja.
Setelah beberapa detik merasa gelisah, seseorang dari mereka berteriak memberi perintah untuk menembak. “Tout le monde, pousse! "
Seperti petasan pada perayaan hari kemerdekaan, senapan-senapan tua mereka meledak-ledak memuntahkan puluhan peluru dan mengenai kabut merah itu. Tetapi itu ada efek apa-apa. Peluru itu hanya mengikis kabut merah itu saja. Aku sungguh tidak tahu apa yang terjadi. Aku perlahan-lahan merayap kaki menuju sudut tembok. Merasa ada sesuatu yang membahayakan yang sebenarnya tersimpan dalam kabut misteri itu.
Semuanya masih memegang senjatanya tinggi. Hening. Lalu, setelah beberapa saat keheningan itu pecah oleh suara aungan keras dan berat layaknya angunan singa kelaparan.
Aku terkesiap, jari-jemariku menyentuh tembok dalam perasaan takut. Teriakan kencang itu datang dari kabut itu. Itu sudah bisa kupastikan.
Layaknya deraian angin, kabut merah itu cepat memasuki ruangan. Dan ketika kabut itu mengisi udara dan membalut kepala hingga dada kelima orang itu, mereka sekejap langsung roboh. Menghantam lantai tua bangunan. Tak bernyawa.
Aku semakin mengencet tembok dengan punggungku. Kabut itu sekarang mendekati posisiku. Kakiku gemetar sangat hebat dan aku tidak bisa mengendalikannya. Tiba-tiba, kabut itu terlihat mengumpal, membentuk sesuatu yang menyerupai semacam hewan liar. Perlahan, kabut itu mulai mengeras hingga kelihatannya bukan gas lagi. Kabut itu kini berubah menjadi padat. Menyerupai hewan liar yang berdiri dengan empat kaki, dan memiliki tanduk satu.
Aku menggeligis dan gidik memperhatikan bentuk hewan mengerikan di depanku. Aku hapal baik anatonomi hewan dari buku-buku berian orang tuaku sebelum mereka meninggal dunia, dan hewan buas ini kelihatannya gabungan dari beberapa hewan yang kukenali.
Mitos menyebutnya sebagai …. Chimera.
Hewan mengerikan dan buas ini berkulit merah darah. Kepala serta badannya menyerupai kepala singa yang memiliki tanduk runcing di keningnya. Badan singa itu bergabung dengan ular kobra yang menjadi ekor hewan aneh ini.
Lebih anehnya lagi, hewan ini dapat berbicara. Intonasinya berat dan terdengar dendam sekali. “Kemarilah … Biarkan aku mencabikmu. Merobek tubuhmu. Menghancurkan tengkorakmu.” Kata-kata itu seperti bisikan kematian ketika cakar-cakar tajamnya mengambil satu langkah maju.
“Jangan takut, bocah kecil. Kematianmu akan berlangsung sekejap dan tak akan terasa.” Dia membuka mulut buas yang dipenuhi oleh deretan taring-taring pemangsa manusia. Dalam satu gerakan, dia berusaha mencabik kepalaku. Aku refleks mengatup mata dalam perasaan takut.
Aku tidak tahu kapan keajaiban yang menyelamatkan nyawaku hadir, tapi aku segera mendengar tumbukan keras dari tembok samping kiriku. Kukira aku sudah tewas. Tapi ketika aku membuka mata, Chimera itu kelihatannya terluka dan sudah melepaskan tatapan mangsannya dariku.
“Jadi kau datang untuk menyelamatkan anak kecil ini?!” Chimera itu mengamuk. “Sekarang – kaulah yang akan kucabik duluan!” Dengan satu gerakan gesit, kulihat Chimera itu entakkan tubuh menyerang sesuatu didepannya yang tampak seperti kilauan cahaya putih.
Aku tidak tahu apa itu, dan aku lebih baik tidak tahu.
Chimera itu segera terhempas lagi seakan-akan dia bukan apa-apa. Kuperhatikan sosok bercahaya itu mengeluarkan kilatan kuning terang. Bentuknya menyeruapi pedang. Dengan satu ayunan pedang cahayanya, Chimera itu sekali lagi menghantam tembok, bahkan menghancurkan tembok itu.
Ketika aku merasa pertarungan ngeri kedua mahuluk garib ini selesai, ternyata Chimera itu merentangkan tubuhnya menyerang sosok cahaya putih itu. Gigi tajamnya merobek sesuatu di bagian paling atas sosok cahaya itu, yang kukira berfungsi sebagai semacam kamuflase yang membuat sosoknya berkilau.
Berkas kilauan cahaya itu segera memudar dan menampakan sosok wanita berambut perak lurus yang membentang hingga bahunya. Sosok itu anggun dan berbadan indah, yang dadanya ditutupi oleh berlapis-lapis pakaian besi putih suci, sedangkan pinggang hingga lututnya tertutup oleh kain hitam yang menyerupai rok. Pada betis wanita ini, kutilik ada dua greaves yang diikat kencang. Alas kakinya terbuat dari besi yang meruncing ujungnya.
Tangannya dibalut oleh baja putih pelindung tangan dan pada tangan kanannya, dia tampak mencengkram kuat sebilah pedang terasah dan sudah dilumuri darah yang kuduga adalah darah Chimera itu.
Dia mengenakan helm yang menutup semua bagian kepalanya kecuali matanya yang memancarkan warna madu. Kuperhatian di atas helmnya, ada bagian yang patah karena gigitan Chimera itu.
Aku tidak tahu mahluk semacam apa dia yang mendadak muncul dari balik kilauan cahaya. Namun, pada punggungnya, aku melihat sayap-sayap berbulu putih yang menonjol keluar dari lapisan baja dan membentang lebar, bahkan melebihi ukuran tubuh si Chimera itu.
Sempat terpikirkan bahwa sosok ini adalah sesosok … malaikat. Tapi, apakah benar dia seorang malaikat suci nan abadi yang sering kudengar dari cerita-cerita si pendongeng langgananku itu?
Belum terlintas jawabannya, sosok wanita anggun itu bergerak gesit, walaupun bobot pelindung baja yang dia kenakannya kutahu sangat berat. Dia mengibas pedang perunggunya sekali lagi, dan menyayat Chimera yang sekarang sangat terlihat di ambang kematian.
Chimera itu roboh, darah merah bercucuran hebat dari luka-luka yang dideritanya. Sosok wanita itu kemudian membungkukan badan, mencengkram bulu-bulu merah singa itu dan mengangkat kepalanya tinggi.
Aku menyaksikan perseteruan di antara dua mahluk gaib ini. Aku sungguh tidak tahu harus berkata apa, aku termangu-mangu dalam pemandangan yang baru saja kusaksikan.
          Wanita anggun itu kemudian menyeret Chimera itu layaknya anjing hingga darahnya mengotori lantai, dan membelakangiku. Sayap-sayap yang terpisah beberapa sentimeter itu mengibas sekali, membuat wajahku merasa desiran udara subuh.
          Aku tergagap ketika pingin bicara. “Si … si … siapa kamu?” Aku bertanya, tak bisa mengendalikan intonasiku agar tidak gemetar.
          Lalu, kuperhatikan helm wanita itu berputar, melihat tepat ke mataku. Kami menatap satu-sama-lain. Tapi tidak ada kata-kata, tidak ada perkenalan diri. Dan aku masih didera perasaan penasaran soal siapa dirinya dan sosok apa dirinya. Akan tetapi, dengan satu kibasan dari sayap-sayap putih kuatnya, dia langsung terbang tinggi, menghancurkan beton-beton bangunan seakan-akan mereka kapas.
          Dia menghilang, memasuki langit-langit yang mulai memberikan warna pertamanya.
          Aku terbungkam. Ketika kulihat kedepan, ternyata darah Chimera yang tadinya mengotori lantai bagaikan sihir, mendadak lenyap. Tapi, kematian rekan-rekanku masih tetap pasti. Mereka masih tergeletak tak bernyawa di lantai.
          Aku merayap kakiku kedepan, berusaha keluar dari tempat mengerikan itu. Tetapi aku tak bisa melenyapkan memoriku tentang apa yang baru saja kusaksikan.
          Dari lubuk pikiranku, aku yakin sosok yang baru kusaksikan, yang anggun dan cantik itu, adalah sesosok Malaikat dalam cerita-cerita pendongeng itu.

          Saat itulah, kutemukan kebenaran soal malaikat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo agan-agan jomblo maupun yang engga, silahkan comment. Hatur Nuhun sa Nuhun nuhunna