Sabtu, 31 Mei 2014

Chapter four

Chapter four

Robert Timberlake had many stories, but mostly his story was about mental patients who were serial killers. I tried not to take this to thought but blocking it felt almost impossible. It's like taking away drugs from a junkie, the more you fight or block the feeling of drugs, the more you want it. There were many questions I want to ask about Nigel, question about his state of mind.

Is he truly like me?

Now, I had completely lost my appetite due to Robert's story. The loud bell rang once again, telling us it's time for medicine, and the food on my plate and the chocolate latte in my cup was left untouched.

Me and Robert got up and we entered the next room beside the cafeteria. As I walked, I felt a tingling sensation of someone following me. Paranoia hits me hard. When I looked behind, my paranoia was true. Someone was indeed following me. She had her eyes aimed at me like a bullet for sometime now.

She had a tomboy look. Her hair was short and black as the night sky. She had chocolate brown illuminating eyes, and the shape of her eyes were very sharp like a persian cat. She was white, but with a pale white tone, like someone having low blood disease. A tiny mole was adhere on her left cheek, just a couple of centimeters below her eye. Her lips were cherry red and full. She wasn't very tall, but she looks well fit for a women. As she followed me, I noticed the white standard cloths she was wearing was a little baggy.

And I knew exactly who she was. 

Robert once told me about her. Her nick name here is "Kuro" which means black due to her hair color. But I didn't worry much, because Robert told me that she wasn't the type of patient that was psycho. She's eighteen years old, a few years younger than me. She's here because she couldn't stand the outside world, curriculum at school was frustrating and made her go insane. She tried to kill herself once, so her parents immediately brought her here. She is a harm to herself, so She was no harm to me.

"Robert," I finally said when we were waiting in line to take medicine. "The girl you told me, Kuro ... has been watching us since we left the cafeteria." My tone was a little frantic.

Robert looked back. "Oh, you mean Bellarose? You don't have to worry so much, Nathan. Kuro is a zero threat to you." he said. "I'm more worried about what's going to happen a few seconds from now."

Next, I place my eyes on the people wearing blue hospital cloths in front of me, shoving the mental patients with many quantities of medicine. A white round pill called Methanoxyl isopropylene. Thiamisis provides, more likely, forces us to take some kind of pill which the main function was to cut out hallucination and even dreams from our brain. That makes us unable to experience dreams or hallucinations at night. The doctor's said this pill doesn't have any long term effect, but ... I know that's simply a lie. A dozen of patients I know is contracted with brain damage because of that pill.

"The thing I hate most is this, Nathan. Medicine time is like hell to me. No, even worse than hell." said Robert. "Don't you hate it too?"

I guess so, I answered without a voice. There is something I never told to anyone here, not even to Robert, and I still don't want to. Every single day, when medicine time, I never swallowed the pills, I always hide it under my tounge. This is a good plan, since nobody here have ever caught me.

They can't control me. They never will.

"You are going to die .... Nathan Hall. You will die here. Rot here, and no one will miss you." suddenly a faint sound was heard behind me, and when I looked back, the colour brown stared directly at me. Kuro. "Prepare your self, Nathan. The worst is about to begin tonight when the stars lite thier last light. When that time gomes, you are in grave danger."

Oh My God. I gulped hard.

My Lifenlite Part 1

Haaiii semuanya :D

Akhirnya setelah berminggu-minggu berada jauh dari dunia blog-blogan, gue memutuskan untuk kembali lagi. Kasian para fans yang merana tanpa kehadiran posting gue hahaha. Gara-gara SMAKBo lagi sibuk-sibuknya pas kemarin hingga saat ini juga masih sibuk ujian. Pokoknya mah Smakbo ga ada hari tanpa kesibukkan. Selalu sibuk. Hari minggu juga sibuk ... *buset ini romusha apa sekolah -_-*

Oke sesuai judulnya Lifenlite, pada posting ini gue ingin berbagi cerita dengan kalian para pembaca setia *asik sok punya fans* soal cerita kehidupan gue dari kecil hingga sampai gue besar dan ganteng kaya sekarang ini. Sebelum melompat-lompat ke materi, gue mau kasih tau nih arti are "Lifenlite" itu apa. Sebenernya sih itu singkatan dari Life enlight (Pencerahan hidup) sok asik banget ye judulnya ... Ya terima ajalah, emang gue asik kok *ditimpuk jemuran tetangga*

Gue dapet ide ini pas baca blog seorang gadis cantik imut polos berinisal D, dia nulis di blognya soal kehidupan dia dari TK sampe SMAKBo. Walau postingnya singkat, namun bahasanya lucu dan lugu, sekaligus membuat gue punya 'pencerahan' soal posting gue selanjutnya. And I thought, "Wow, this is a very good idea."

Nama gue Alfi Nurzaki, dibrojolkan pada hari selasa/rabu/kamis/jumat/sabtu/senin tanggal 16 oktober 1996. Kata Ibu gue sih gue lahirnya pas rumah sakitnya mati lampu, pantes gua item -_- ternyata gue meng"absorbsi" kegelapan -_- Ada aja rahasia illahi tuh.

Gue pada saat itu punya seorang kakak, namanya Hafiz Hanifi, kita beda 3 atau 4 tahun.

Gue suka disebut sebagai anak "penuh rezeki" sama Ibu soalnya pas keluarga gue lagi kesusahan, Ayah gue udah ditawarin kerja diluar negeri pas gue lahir, dan pada saat gue berumur 2 tahun Ayah gue udah pergi ke Dubai untuk kerja di perusahaan jepang, dan meninggalkan Ibu gue bersama anak-anaknya di Indonesia. Jadi gue pas umur segitu gue kaga kenal Ayah gue siapa, tukang gorengan aja bisa gue sangka ayah gue lagi -_-"

Tapi Alhamdulillahnya, setelah Ayah gue udah banting tulang dan bersungguh-sungguh selama 2 atau 3 tahun disana, akhirnya beliau mendapatkan uang gaji yang bisa dikatakan cukup, dan tak tanggung-tanggung menunggu waktu lagi Ayah gue langsung meng'ekspor' keluarganya dari Indonesia untuk ditinggal disana. Kalau engga salah sih umur gue baru lima tahun.

Setelah sampai disana, Ayah gue kontrak rumah di daerah Sharjah, UAE. Rumah kontrakan kami memang tergolong kecil, satu kamar tidur, interior seadanya, tapi itu cukup untuk menampung keluarga kecil seperti kami. Tak masalah soal tempat tinggal, asalkan kita sekeluarga bisa berkumpul dalam suatu tempat dan melepaskan kerinduan yang selama ini kami pendam.

Rumah inilah bukti dari keringat Ayah selama bertahun-tahun bekerja keras, dari rumah kecil inilah tetesan air mata kebahagiaan dikeluarkan, rasa rindu ditinggalkan. Akhirnya, setelah bertahun-tahun, kami sekeluarga bersatu lagi.

Tentu setelah itu yang harus dilakukan adalah mencari sekolah dong. Ayah gue kebetulan udah ketemu sama sekolah yang lumayan bagus namun dengan harga terjangkau, karena memang disana harga untuk menyandang edukasi itu cukup mahal. Bayarannya bisa puluhan juta berbulan. Tapi sekali lagi alhamdulillahnya, sekolah ini tak seperti itu. Dan dalam sekolah itulah, hidup gue dimulai.



"The Elite English School" menyandang predikat yang cukup bagus dimata orang-orang disana, dan bukan itu doang, mereka juga menyediakan studi bermutu dalam range harga yang terjangkau. Perbulan harus bayar 2, 5 juta kalau engga salah mah. Gue menghabiskan masa TK (Kindergarden) disana, dan gue dibilang anak yang sangat cerdas sama guru-guru disana, tapi itu semua berubah ketika gue duduk di bangku kelas 3. Gue dibilang bodoh, a stupid boy, sama guru matematika gue karena gue ga hapal perkalian 4 sampai 10, dan gue dibanding-bandingkan dengan kakak gue yang selalu disanjung-sanjung sebagai orang "jenius" sama guru gue. Pada momen itu juga, gue langsung trauma sama pelajaran matematika. Dan, trauma itu masih menyangkut dalam pikiran gue hingga saat ini. Makanya gue paling engga bisa pelajaran matematika, walau gue berusaha sekeras apapun.

Melupakan semua cemohan itu, ternyata ada kabar baik datang dari rumah. Setelah Ayah bekerja keras selama bertahun-tahun, akhirnya beliau diangkat jadi supervisor di perusahaan asing itu. Bukan hanya itu, uang gajinya naik, dan kamipun mampu pindah ke apartment yang cukup luas dari rumah kecil kami, dan sisa dari uangnya alhamdulillah Ayah mampu belikan mobil sedan Nissan Sunny AT yang cukup membuat kami terkesima dan bercucuran air mata kebahagiaan. Karena gue ga pernah menduga uang gaji Ayah cukup buat beli mobil dengan semua bayaran bulanan yang harus dilunasi.

Gue ga pernah sangka seseorang seperti Ayah, mampu mendongkrak karirinya dari bawah, sampai bisa membeli mobil. Beliau adalah sosok idola bagi gue :")

Dan rasa sakit hati akibat cemohan guru matematika gue engga berlangsung lama, setelah beranjak ke kelas 4, gue dapet guru matematika yang baru. Namun tetap saja, karena trauma itu gue engga bisa ngikutin pelajarannya. Menyingkirkan soal matematika, gue ternyata jago dalam pelajaran science dan bahasa prancis. Nilai gue selalu memuaskan dan gue dibilang cerdas sama guru science dan guru prancis gue. Gue bahagia disitu.

Selama di sekolah itu, gue dianggap anak culun yang selalu juga diganggu oleh bully. Ada banyak bully disana, tapi yang paling menggangu gue itu namanya Shihab. Bocah iran. Pas pelajaran, sampe prom juga selalu diganggu. Namun dalam cerita pahit selalu ada bagian manisnya. Gue di sana suka sama cewe Indonesia, namanya Ayu. Cewenya manis, senyumnya mempesona, rambutnya indah bagai ombak tenang dipantai hawaii. Gue berusaha keras buat dapetin perhatian dari dia, tapi setelah semua usaha yang sudah gue berikan, ternyata dia suka sama cowo iran yang namanya Ahmad. Seketika rapuh hati gue, dan pada saat itu juga, perjalanan cerita "Jones" pun dimulai -_-

Syudah dulu ya ceritanya, tangan gue udah berotot nih akibat ngetik terlalu banyak....
Dubai, bagi gue menyimpan banyak kenangan manis yang mustahil  bisa terlupakan dari dalam benak. Semua kenangan di konjen, sekolah, rumah akan selalu kuingat, dan mungkin juga akan kuceritakan lagi kepada kalian di postingan yang lain. Masih banyak kok partnya hehehe :)
So, byeeeee B)