Rabu, 26 Februari 2014

Pujangga Haus Romansa



Romansa.

Apalah arti romansa ...
Berdua-dua dalam embun pagi,
hanya menambah dosa ...
Genggaman tangan?

Tidak! Aku kira itu bukan makna romansa ...
Bagiku romansa adalah saling menjaga hati ...
Tak mencoretkan dusta ataupun dosa ...
Bagiku, romansa itu suci ...

Cintamu di Ujung Padi.

Wahai terkasih, angin sudah berdesir menyentuh jiwa ...
Membisikan kalimat penunjang cinta ...
Cintaku, di bawah sinar mentari, aku bersinggah dalam hatimu ...
Di ujung padi, aku nyatakan perasaanku ...

Di derai Ombak.

Aku berdiri di tengah laut biru ...
Kabur, menahan diri untuk tidak mati ...
Aku, seorang pelayan terbengkalai diderai ombak ganas ...
Dalam lautan biru, aku tersesat ...

Kulukis Parasmu.

Di atas kanvas, aku mengores cinta ...
Paras yang begitu bergelora ...
Di atas kuas, cat air ku bergerak membentuk wajahmu ...
Di atas kanvas, aku melukis paras cinta ...

Katakanlah Hati.

Cinta, apakah kamu nyata adanya?
Benarkah jika itu adanya, ku kan berkata cinta ...
Wahai hati, sendukan perasaan padaku ...
Dalam lubuk hati, aku menginginkan itu ...

Gue ga tahu, tapi ... kini aku pujangga haus akan romansa wkwkwk.


Senin, 03 Februari 2014

Dark sky, Dark days.



Keputusasaan ADALAH imamku.
            Dari dunia muram, aku mencoba melangkah kedepan.
            Dari bayangan kelam kehidupan, aku mengepakkan sayap.
            Terbang tinggi, menuju tangga surga keabadian-Mu.
Sepanjang hayatku, selalu saja terpampangkan keputusaan yang begitu sejati, membalut tubuhku dan sangat sukar untuk dilepaskan. Aku adalah apa yang mereka sebut sebagai bayangan sang surya. Berlindung dibalik mentari pagi, bernaung dari spektrum cahayanya yang memancarkan kehidupan penuh warna yang begitu berarti.
Akulah sang pegawai bayangan dari perusahaan farmasi terbesar di seluruh Asia tenggara. Hidupku, kupertaruhkan dalam karir yang begitu tidak menjamin. Tapi bodohnya aku karena telah memberikan hampir satu dekade hidupku demi membuat para atasan penghisap darahku senang. Kini, aku duduk sendirian diatas kasur dalam kamar hotel yang begitu suram, pada malam yang tak menampakkan iluminasi bintang-bintang.
Aku menyadari kesalahanku, yang membuatku seperti sekarang ini. Inilah hasilku mengejar tujuanku! Yang menjadikan aku sebagai manusia kelam dan penuh dusta. Karena kreasi dustaku, aku kehilangan segala yang kucintai. Istriku yang begitu setia menemaniku dalam hidup penuh cobaan ini, akhirnya memutuskan untuk meninggalkanku. Anakku secara tragis meninggal karena kurangnya perhatianku padanya. Tapi … aku tidak menyalahkan siapapun kecuali diriku, karena aku menyadari bahwa ini semua merupakan tanggungan dosaku.
Aku adalah Imam dari semua keputusanku!
Dalam dunia muram ini, aku menarik napas, menghirup oksigen yang sudah dikotori oleh orang-orang yang hanya mempedulikan materi dan jabatan … termasuk juga diriku. Aku menegakkan kaki, menyentuh karpet biru yang mengilusi seakan aku berada di tengah laut Pasifik.
Aku menilik kepalaku ke kanan, menatap pintu kaca yang terbuka lebar dalam kamarku, desiran dinginnya malam segera terasa menyentuh pipiku. Sekejap membuat otot-otot wajahku seakan mati rasa dalam bekunya malam.
Disini, semua keraguan kini harus dimusnahkan.
Aku melangkahkan kaki, mendekati tubuhku yang seratus-delapan puluh sentimeter pada pintu kaca terbuka itu. Semakin dekat, aku merasakan hawa kengerian yang membalut tubuhku yang hanya tertutupi oleh kemeja sutra merah dan celana kain hitam.
Merasakan kedua kakiku membeku, aku terus merayapkan kakiku, mendekati tralis besi putih yang berkilau terkena pantulan cahaya dari lampu langit-langit balkon. Aku lalu menurunkan kepalaku, menatap alam dibawah kakiku.
Di bawahku, jauh di bawahku, tampaklah hamparan genteng-genteng merah yang bagaikan lautan api. Dalam kota indah penuh cerita ini, banguanan-bangunan klasik berdiri kokoh melewati cobaan waktu berabad-abad. Di bagian utara, aku melihat sebuah kubah besar yang mengelilingi awan kegelapan disini. Dihiasi oleh keramik hijau rumput yang begitu mengesankan.
Sungguh … semua keraguan memang harus disingkirkan.
            Aku menjangkaukan tanganku keatas, mencekam jemariku pada tralis tinggi dan mengangkat segenap berat tubuhku, bertekuk lutut, lalu berdiri goyah diatas tralis besi yang lebarnya hanya beberapa sentimeter. Pinjamkan aku sayapmu, wahai malaikat Jibril yang setia menemaniku, demi terbang menjauhi kehampaan dan semakin mendekat pada surga keabadian.
            Dalam detik-detik terakhirku, aku memberanikan diriku untuk melihat kebawah, dan aku menahan napas atas gambaran yang kulihat.
            Aku melihat wajahmu.
            Diantara hamparan genteng-genteng merah, kau mendongak kepalamu dalam kefanaan, menatapku dengan mata yang begitu sembab seakan kau habis menangis sepanjang malam ini. Sesungguhnya, setiap tetesan air matamu adalah kelemahanku, sedangkan setiap jengkal dari senyummu adalah penguatku, karena kau adalah bidadariku. Tapi kini, aku mohon agar kau mengerti … Aku memang harus melakukan ini.
            Tidak ada cara lain. Aku tahu apa yang semestinya kulakukan.
            Suara Adzan segera terdengar lantang disini, mengalun harmonis ditelingaku dengan makna-makna sendu, yang menanggilku untuk menghadap pada Tuhan yang Maha Kuasa. Maafkan aku … Wahai umat manusia, karena kalianlah yang akan menjadi korban atas apa yang telah kulakukan.
            Demi membersihkan dunia dari para manusia busuk dan terkutuk, sebagian umat manusia yang baik memang harus dikorbankan. Sebagai syarat menuju dunia utopia yang diidamkan sejak peninggalan Nabi Muhammad SAW.
            Suara Adzan merebak langit-langit malam, dengan itu kuikuti makna kalimatnya, memejamkan mataku rapat-rapat dan meresapi maknanya yang begitu mengetarkan jantungku.
            YaMari menuju kemenangan.

            Aku membisikkan kata maafku padamu, wahai tercinta. Dan dengan itu, Aku segera melangkahkan kakiku kedepan …. Mengakhiri hayatku dengan terjatuh masuk kedalam alam kematian yang sudah ditentukan.