Sabtu, 21 Februari 2015

Time Travel, part 1

Aku duduk dihamparan rumput hijau sambil memandang sepatuku, sementara kubiarkan cahaya fajar menghangatkan suasana hatiku. Aku terus memandang sepatu merah converse-ku yang sudah usang,mengingat kembali serpihan demi serpihan memori perjalananku dengan sepatuku yang begitu banyak. Aku ingin berbagi cerita kepada kalian yang sedang membaca ini. Mungkin kalian tidak akan percaya begitu saja dengan apa yang akan kukatakan, tapi aku harap kau menghirup napas tenang sebelum lanjut membaca tulisan ini.

Sudah? Baiklah kalau begitu.

Namaku Amadeus Levi. Usiaku 16 tahun. Dan aku bisa menjelajahi waktu.
Ya, itu benar. Aku bisa menjelajahi waktu, kembali melihat ke masa lalu, atau menempuh masa depan.

Izinkan aku memperkenalkan diriku dulu. Namaku Amadeus Levi. Kau boleh memanggilku Levi. Aku sudah tinggal di kota apel, New York, sedari kecil. Mereka-kedua orangtuaku- pindah kewarganegaraan sebelum aku lahir. Ibuku berdarah kental Prancis sementara Ayahku keturunan Indonesia Italia. Aku tidak begitu mengenal Ibuku. Beliau sudah meninggal dalam proses melahirkanku. Tidak ada senyuman atau tangisan bahagia ketika aku pertama kali membuka mataku. Tidak ada pelukan hangat. Tidak ada helaan napas hangat Ibu di ubun-ubunku. Dan, Ayah membenciku seumur hidupnya. Aku tidak pernah mengerti kenapa Ayah membenciku, tapi dia pernah bilang bahwa aku adalah sebuah kesalahan besar untuknya. Ayah menyebutku sebagai anak pembawa sial. Aku rutin menangis sepanjang malam. Kau tahu, aku tidak pernah merasakan apa itu kasih sayang. Aku kerap kali melihat anak seusia-ku bermain-main bersama orang-tua mereka, meresapi kehangatan senyum dan tawa dari mulut mereka. Aku tidak pernah merasakan itu.

Ironis boleh kau sebut, aku terlahir di dunia tanpa senyuman dari siapapun. Tidak ada yang mencintaiku.

Namun, kurasa itu tidak penting. Aku tidak akan berbicara panjang-lebar mengenai hidupku yang suram. Degan begitu aku tidak perlu menangis dan kau tidak perlu tahu alasan dibalik air mataku.

Tidak ada yang tahu mengenai kemampuanku. Aku selalu merahasiakannya sebaik mungkin. Beruntung aku tidak punya siapapun yang mempedulikan aku, jadi aku tak perlu bersusah payah menyembunyikannya.

Kau mungkin bertanya-tanya saat ini, jika aku bisa menjelajahi waktu, mengapa aku tidak penah bertemu Ibuku? Well, jika aku mengetahui jawabannya aku pasti memberitahu kalian. Sejauh pertulanganku melintasi waktu, aku tak pernah bisa menemukan Ibuku. Maksudku, aku memiliki foto Ibu ketika beliau masih muda, tapi entah kenapa aku tak bisa menemukannya meskipun aku sudah berusaha keras mencarinya. Aku rasa ini ada hubungannya dengan hukum perlintasan waktu yang belum ditemukan oleh umat manusia.

            Aku berdiri dari posisi dudukku, membersihkan sisa-sisa rumput yang menempel di celanaku, lalu mulai berjalan melintasi padang rumput hijau nan luas demi menunju ke sekolahku. Aku keluar dari taman central park New York dan menelurusi jalanan beton yang ramai. Walau hari masih pagi tapi suasana kota New York sudah padat oleh orang yang berlalu lalang, pakaian mereka terhormat dan mengkilap sekali seakan hendak bertemu ratu Inggris. Suara klakson dan derungan mobil pribadi membuat telingaku sakit, sementara asap knalpot mengepul di atmosfir pagi dan membuatku sulit bernafas. New York memang adalah kota yang tidak pernah beristirahat, setiap waktu selalu seperti ini.

            Aku bersekolah di sebuah institusi khusus dimana mereka menerima anak-anak yang memiliki masalah mental. Oh, aku lupa menyebutkan bahwa aku berbeda dari anak seumuranku karena aku menderita penyakit mental yang mereka sebut Dyslexia. Penyakit yang membuatku tak bisa berfokus pada pelajaran walau aku sudah berusaha sekeras dan sesungguh mungkin, penyakit yang membuat pandangan mataku berputar-putar ketika disuguhkan deretan angka yang sederhana. Daya serapku terhadap penjelasan guru juga terbatas, aku tidak bisa menyerap setiap perjelasan yang keluar dari mulut guru di sekolah umum. Rasanya aku ingin menyumpel mulut guru-guruku dengan gumpalan tisu jika mendengar mereka berbicara sesuatu yang tak kupahami.

            Satu kelasku dihadiri oleh 10 murid yang penyakitnya tak jauh berbeda dariku, mulai dari penyakit Dyslexia seperti aku, Down Syndrome, Schizophernia, hingga Alzheimer. Secara pribadi, aku senang berada disini karena disini aku merasa aku tak perlu menyembunyikan kekuranganku dari mereka seperti yang selalu kulakukan ketika menghadiri sekolah-sekolah umum. Biasanya anak sekolah umum akan memukul, mendorong, dan menyiksaku ketika tahu aku punya kondisi mental yang berbeda. Namun disini, aku diterima dengan hangat oleh mereka.

            “Hey, aku disini! Duduk bareng aku saja!” sahut temanku bernama Roy Jacobson. Aku berdiri diam selama beberapa detik, kemudian melirik kekiri dan kananku. “Kau manggil aku?” tanyaku ragu-ragu.

            Roy mengerenyitkan alisnya. “Ya iyalah aku manggil kau, Levi. Sini duduklah bersamaku.”

            Aku tak berbicara banyak dan menuruti kemauannya.

            “Jadi,” katanya. “Apa kau sudah tahu beritanya?”

            Aku memandangnya sambil berbicara dengan nada penasaran. “Tahu apa?”

        “Guru sejarah yang biasa mengajari kita beberapa hari yang lalu terkena penyakit diabetes dan dia sedang dirawat di rumah sakit sekarang,” jawabnya. “Siapa yah namanya. Ah, aku lupa.”

            “Maksudmu … Miss Anabella guru sejarah kita?”

            Roy menjentikkan jarinya dengan semangat. “Nah! Itu namanya. Entah kenapa aku selalu lupa dengan Miss Anabella.”

             “Kasihan sekali Miss Anabella,” kataku dengan nada prihatin. “Aku selalu suka dengan caranya dia mengajar kita.”

            “Ya, aku juga. Sayang sekali dia harus sakit padahal minggu ujian sebentar lagi.” Balas Roy. “Jadi, karena Miss Anabella sakit, akan ada guru baru yang mengganti Miss Anabella.”

            “Oh yah, siapa namanya?”

         Tiba-tiba pintu kelas terbuka, terdengar suara decitan pintu yang memekikkan telinga. Seorang wanita berambut panjang dengan postur tegap memasuki pintu. Tanpa berpikir panjang aku langsung bisa menebak itu adalah guru pengganti yang dimaksud Roy.

            “Selamat pagi, anak-anak.” Ucap guru tersebut. Kemudian dia dengan cekatan mengambil spidol di depannya lalu menuliskan namanya di papan tulis. “Namaku Miss Hilton. Dan aku akan jadi guru pengganti kalian sampai guru biasa kalian Miss Anabella sembuh. Hari ini kita akan belajar tentang sejarah hidup seorang ilmuwan terkenal sepanjang masa. Apa disini ada yang tahu siapa dia?”

            Kelas terdengar hening setelah pertanyaan itu terlontar dari mulut Miss Hilton. Aku berpikir, sepertinya dia lupa kalau anak-anak yang sedang dia ajari saat ini tidak sama seperti anak-anak yang dia ajari di sekolah umum. Seharusnya Miss Hilton tidak menanyakan itu kepada kami, itu hanya mempertegas kekurangan yang kami miliki.

            Saat aku mengira Miss Hilton akan meminta maaf atau melakukan aksi apapun untuk mengalihkan pembicaraan, Miss Hilton malah mendadak tersenyum riang seakan dia tak pernah menanyakan itu. “Sama,” katanya. “Aku juga tidak tahu. Maka dari itu, kita ada buku modul yang bisa menjelaskan siapa orang yang kumaksud. Silahkan, anak-anak, aku harap kalian semua penasaran sepertiku. Ayo, kita buka halaman 168 bersama-sama.”

            Aku membuka halaman buku mengikuti teman-temanku yang lain, lalu membaca judul halaman yang terletak dibagian atas halaman. THE LIFE OF ALBERT EINSTEIN.

            Miss Hilton kemudian mulai menjelaskan dan membicarakan kehidupan sosok ilmuwan termasyhur bernama Albert Einstein. Aku tak mengalihkan pandanganku atau melepaskan pakuan fokusku pada Miss Hilton ketika dia menjelaskan riwayat kehidupan Albert dari masa kecil Albert yang memiliki penyakit mental, hingga Albert dewasa dan menjadi seorang ilmuwan terkenal sepanjang masa meskipun dengan kekurangan masa lalu yang dia miliki.   

            Atraktif dan luwes, itu yang aku nilai dari cara mengajar Miss Hilton. Setelah kelas selesai dan Miss Hilton meninggalkan kelas, aku dan Roy beranjak keluar dari kelas dan berjalan menuju kantin untuk makan siang. Aku duduk bersama Roy, beberapa menit kemudian seseorang anak berambut ikal ikut duduk bersama kami.

            “Bagaimana liburan semester kalian? Apa kalian jalan-jalan liburan kali ini?” tanyanya sambil duduk disampingku.

            “Aku senang kau bertanya, Fedrick,” jawab Roy. “Kebetulan aku dan ayahku pergi berkemah liburan ini. Seru sekali. Kami duduk dimalam hari ditengah api unggun. Bagaimana denganmu?”

            Fedrick tertawa. Dia selalu punya suara unik ketika sedang tertawa. Kau tahu, mirip seperti suara dolphin sea world yang sedang memohon makanan dari penjaganya, sedikit lucu dan menyedihkan. “Well, kalau aku, aku liburan ke Negara Russia bersama ibu dan ayahku. Menikmati musim dingin dan liburan mewah disana. Ya kau tahulah, keluargaku kaya dan kami kebingungan bagaimana cara menghabiskan uang.”

            “Wah, kau beruntung sekali.” balas Roy dengan nada takjub. Sebenarnya, aku benci ketika Roy takjub atau merasa sedikit terkesima pada Fedrick, karena menurutku Fedrick hanya seorang anak kecil bodoh yang terlalu dimanja oleh orang tuanya. Aku ingin mengatakan itu, tapi aku malah diam dan mengunyah makananku.

            “Uang bukan masalah besar bagi keluargaku,” Fedrick tak bisa menutup mulutnya, aku ingin sekali membuatnya bungkam. “Setiap liburan semester aku selalu liburan. Seperti liburan yang kemarin ketika aku dan keluargaku berlibur di Bali, atau seperti saat aku berlibur dan mengunjungi Menara Effiel.”

            “Wah, aku ingin sekali ke Paris. Aku cinta sekali pada bahasa mereka,” kata Roy. “Kota cinta, itu yang mereka sebut soal Paris. Aku ingin sekali kesana, tapi keluargaku tak bisa kesana.”

            “Ya, itu karena keluargamu tak sekaya keluargaku yang-“

            Aku tiba-tiba meletakkan sendok-ku dan memandang Fedrick dengan tatapan kesal. “Fedrick. Berhenti membicarakan kekayaan keluargamu kepada kami. Ya, kami tahu kau kaya tapi kau tak perlu membicarakannya didepan kami.”  

            Mendengar bentakkanku, Fedrick hanya tersenyum dan melihatku dengan mata menantang, seperti banteng yang hendak menyerang matador yang membuatnya marah. “Bagaimana denganmu, Levi? Apa kau pergi kemana-mana liburan kemarin?”

            “Tidak,” aku menjawab supel. “Aku tidak melakukan apa-apa liburan ini.”

         Senyuman Fedrick semakin menjadi. “Ya, itu karena kau tidak punya siapa-siapa yang bisa mengajakmu liburan. Kau cuma anak berpenyakit mental yang tidak punya orangtua.”

         Aku meninggikan nadaku, marah padanya. “Jaga mulutmu! Aku masih punya ayahku.”
            “Ya, tapi ayahmu sendiri membencimu.”

     Sesungguhnya kalimat itu yang paling menusuk jantungku. Mau bagaimana juga, ucapan Fedrick benar. Aku punya ayah, tapi ayahku sendiri membenciku. Aku tak berkutip atau membalas ucapannya, aku berdiri dari tempat duduk–tak menyadari bahwa aku mulai menangis-dan berlari sekencang mungkin meninggalkan ruang kantin.

        Aku masih bisa mendengar jeritan Fedrick yang membuat hatiku semakin sakit. “YA, KAU TIDAK PUNYA SIAPA-SIAPA! INGAT ITU! DASAR ANAK ANEH!”  

            Aku terus berlari dan menangis. Tempat yang sunyi, itu yang aku butuhkan sekarang. Aku secara refleks memasuki ruang kebersihan dimana para janitor menaruh peralatan bebersih mereka, lalu mengunci diriku didalam ruangan itu. Aku menyender punggungku ke pintu dan menangis sejadi-jadinya. Aku benci ketika harus menghadapi kenyataan pahit hidupku, rasanya sakit. Seperti menelan duri yang membuat kerongkonganku perih dan berdarah.

            Namun, aku selalu punya caraku sendiri dalam menghadapi rasa sakitku. Aku mengepalkan kedua tanganku, memejamkan mataku, lalu mulai memfokuskan pikirkanku, membuang segala masalahku keluar jendela pikiranku. Aku mulai merasakan dunia disekelilingku memudar, menjauh seakan aku memasuki ruang hampa. Kemudian suara-suara kecil seperti desiran udara, suara cicak yang menempel di ubin-ubin ruangan, mulai perlahan menghilang. Kesunyian penuh kemudian mengisi ruangan.

            Aku mulai transisi perjalanan waktu-ku.  



           
            Ketika aku membuka mataku, aku bukan lagi berada dalam ruang penyimpanan alat kebersihan yang kumuh dan gelap. Kini, aku berdiri di sebuah ruangan kelas, dengan aroma buah apel yang sungguh tajam. Di depanku, aku melihat seorang anak kecil berusia 10 tahun yang berpakaian seragam yang tengah menulis di papan tulis. Aku mulai berjalan mendekati anak itu. Dia mendengar suara derapan langkahku, lalu menoleh kebelakang dengan wajah kaget.


            Aku mengenal raut dan bentuk wajah itu, aku pernah melihat anak ini di buku pelajaranku. Lalu tak perlu waktu lama untuk menyadari bahwa anak kecil itu adalah Albert Einstein.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo agan-agan jomblo maupun yang engga, silahkan comment. Hatur Nuhun sa Nuhun nuhunna