BAB
1 (Permulaan cerita.)
Permulaan
waktu …
Kisah
lama menyangkut di angan-angan para pendongeng masa lalu, dimana mulut mereka
mengisahkan pertikaian antara yang tersuci melawan yang terbejat. Antara mahluk
suci yang bersinggah di awan-awan, dan mahluk jijik dan dusta yang tertelan di bawah
perut bumi.
Para
pendongeng bercerita, setiap waktu selalu, kisah sama yang terus menerus
diceritakan. Tidak ada perbedaan. Tidak ada alur cerita yang lain. Diceritakan
kejadian sebelum masa intelek Sir Issac Newton, sebelum berjayanya sang maestro
Leonardo Da Vinci, sebelum legenda Dewa-dewi Yunani kuno.
Kita
mungkin sudah membaca kisah pendongeng kuno ini. Atau mungkin sudah
mendengarnya. Kelas agama, mengingatkan kita betapa pentingnya kita meneguhkan
iman, betapa pentingnya untuk memilih jalan kehidupan …
Pendongeng
kuno ini, mengisahkan soal malaikat yang berperang melawan para iblis yang
terkutuk. Peperangan sengit yang telah selesai sebelum permulaan waktu, sebelum
ledakan besar. Antara mahluk bercahaya dengan mahluk gelap gulita.
Sang pendongeng bersemangat sekali
ketika setiap kali hendak memulai cerita, dia berdiri dengan kedua kakinya,
penonton yang bergumbul-gumbul terduduk tenang saat dia memulai ceritanya.
Ketika dia menyebut-nyebut nama Iblis, penonton merasa tercengang … tak mampu
bernapas.
Ya, memang betul, gestur sang pendongeng
ini, dimana dia mengenakan pakaian gaun hitam yang membentang hingga menutupi
jari-jari kakinya dan sebuah topi kerucut terbuat dari kulit sapi, serta topeng
kecil yang sekedar menutup mata dan hidungnya, sungguh membentuk atmosfirnya
tersendiri. Bahkan sebelum dia bercerita juga, kita semua merasakan tegang
duluan.
1938. Di antara kerumanan orang yang terobesi
oleh cerita-cerita malaikat dan iblis, Aku, seorang petani desa yang bekerja di
ladang kecil, berumur tiga-belas tahun, terus menyaksikan pendongeng ini
bercerita kisahnya. Aku tidak pernah bosan, tak pernah jenuh mendengarnya
menceritakan kisah yang sama berulang-ulang kali. Fantasiku semakin bertambah
setiap kali dia memberikan kisah.
Aku lekat-lekat memperhatikan pendongeng
bertopeng ini, sungguh mengagumkan. Dengan kata-kata, dia mampu menarik aku
kedalam suasana. Membuatku membayangkan diri, berfantasi soal malaikat dan
iblis.
Dalam hidupku, aku selalu yakin tentang
keadaanku. Aku yakin, bahwa aku sebenarnya bukan seorang petani dari sebuah
desa kecil. Dalam wadah mausia ini, aku tahu aku lebih daripada ini. Lebih dari
sebatas laki-laki saja. Sesungguhnya, aku terus berpikir tentang kemungkinan
apakah aku adalah seorang malaikat yang di masukan dalam wadah berbentuk
manusia?
Banyak orang seusiaku menyebutku bodoh,
menyebutku sebagai seorang petani yang banyak berkhayal yang tidak-tidak. Tapi
sungguh, aku tidak pernah merasa seyakin ini sebelumnya. Bahkan, kedua orang
tuaku saja di kala masih hidup, mengatakan aku memang terlalu banyak berkhayal.
Tidak
ada yang mendukung pemikiranku …
Maka aku sekarang berada disini,
menuliskan kisah ini demi membuat kalian yang merasa seperti diriku merasa
tidak sendirian. Biarkan yang ragu menghina pemikiranmu, biarkan mereka berkata
ini hanya fantasi gilamu. Tapi, ingat, aku telah membuktikan diriku.
Silahkan lanjutkan jika kalian ingin
tahu kelanjutan dari ceritaku, silahkan tutup buku jika menurut kalian aku
hanya mengada-ngada saja. Semua itu, ada di keputusan tangan kalian.
Baiklah, jika kau sudah memutuskan, aku
akan segera memulai ceritaku. Memulai kisah perjalananku menemukan jati diriku
sebagai seorang malaikat yang terpenjara dalam bentuk tubuh manusia ini.
*
* *
1941. Seingatku, waktu itu adalah beberapa
hari sebelum musim gugur tiba disini. Kampung halamanku adalah sebuah desa
kecil yang memiliki tanah ladang seluas mata memandang. Subur dan mengesankan
indah. Di mana bisa kau temukan petani yang tengah berkerja keras di siang
bolong demi mendapatkan hasil panen yang sebenarnya tidak seberapa. Rumah-rumah
kecil kami sungguh mencitrakan kehidupan sederhana yang harmonis dan penuh
senyum murah.
Daun-daun kering sedikit-demi-sedikit
mulai berjatuhan disini, di desa yang terletak di Pince, negara Perancis. Seharusnya
musim gugur ini kunikmati dengan bersenang-senang dan berlari-lari di ladang
milik petani tua. Tapi untukku, itu sesungguhnya hanya mimpi saja.
Perang berkecamuk di berbatasan wilayah
kami, dimana tank-tank baja menghancurkan kota-kota indah kami, dan
meriam-meriam berpeluru besar berjatuhan bak air hujan kehancuran. Nestapa
sungguh negara tercintaku. Aku tidak pernah membayangkan ini, kehidupan yang
selalu harus diselingi oleh berbagai macam latihan-latihan mendadak demi
mempersiapkan diri di kala militer Nazi menyerang tanah airku.
Latihannya sangat menyiksa tubuhku. Di
subuh hari, ketika aku tertidur lelap setelah bekerja seharian di ladang,
tiba-tiba suara sirene lantang menghantam gendang telingaku. Membuatku tersadar
dan terkesiap, dengan degupan jantung tak karuan.
Aku tinggal bersama seseorang pemilik
bar di desa Pince. Satu-satunya bar yang menyajikan hidangan lezat serta
minuman khas daerah sini. Oliver de Beauvoir, pemilik bar yang sedang dalam
masa pertengahannya –tiga-puluh-lima tahun, tiba-tiba mendobrak pintu kamar
kecilku tanpa mengetuk dulu.
Wajahnya meneteskan keringat, mata biru
lautnya terlihat gelisah, rambut yang biasanya terlihat rapi kini acak-acakan
sekali layaknya ombak ganas, pakaian kemeja kotak-kotaknya kumuh, tubuh
jangkungnya menunduk. Aku sudah tinggal disini kurang-lebih lima tahun setelah
kematian kedua orang tuaku dan sering menilik wajah Oliver, dan menurutku dia
memang orang yang mudah sekali panik. Mendengar sirene bersuara saja, dia sudah
berlari lunggang-langgang ke kamarku dengan wajah pucat pasi. Tetapi, saat aku
memandang wajahnya, tidak pernah kulihat Oliver sepanik sekarang.
“Madrigal! Cepat turun dari kasur,
sirene sedang berbunyi sekarang!” Oliver menyeru lantang. Teriakannya terdengar
seperti kicauan burung gagak, sangat tidak nyaman di telingaku.
“Cepat, kita harus kumpul di lapangan
sekarang!” lanjutnya, masih lantang. “Dan cepat bangunkan Sophia.” Seiring
perintah itu, Oliver langsung mengangkat kaki dari pintu kamarku.
Setengah tersadar, aku hempaskan kaki
telanjangku menyentuh lantai dingin yang sangat menggigil. Desiran angin subuh
memang selalu dingin di Pince. Aku segera melaksanakan perintah Oliver, ku
angkat kaki menuju kasur yang tepat berada di samping kasur kayu tuaku.
Di sana, seorang perempuan berambut emas
terang sedang berbaring miring, membungkus diri oleh selimut putih yang tipis.
Matanya terpejam, sangat tenang sekali. Bulu matanya lentik, alisnya emas
tipis. Hidungnya mancung dan sempurna. Kulitnya halus dan seputih gading gajah
India. Bibirnya kecil, memancarkan warna merah cerah. Dialah Sophia Adélie, adik perempuanku yang sangat
cantik.
Sebelumnya,
harus kuberitahu sesuatu tentang adikku Sophia. Ada alasan khusus mengapa
Sophia tidak terbangun saat sirene dan Oliver mengusik subuh ini. Dan alasan
itu sangat membuat hatiku remuk, hancur berkeping-keping, dan sejujurnya aku
tak mampu mengatakannya. Tapi … aku harus.
Sophia
Adélie, adik perempuan cantikku yang senang sekali memberikan senyum manis
kepada masyarakat disini, sebenarnya … menderita penyakit tuli. Ya, itulah
pemberian yang setimpal, wajah cantik luar biasa yang dikaruniai oleh Tuhan
harus diimbangi oleh kekurangan yang menonjol. Tidak ada orang yang sempurna.
Tidak ada.
Aku mulai
mengguncang-guncang tubuh Sophia hingga dia perlahan membuka matanya. Dia
mengerakkan tubuhnya menghadapku. Mata hijau zaitun sangat memberikan kesan
penyayang dan hangat. Tatapan penuh peduli menurutku.
Sophia
setengah membuka mata, lalu dia mengeluarkan suara mengantuk. “Ada apa,
Madrigal? Kenapa kamu membangunkan aku? Kan masih pagi.” Sophia berkata.
Aku tidak
membalas dengan kata-kata. Satu Bahasa yang harus kukuasi dengan baik adalah
Bahasa orang tuli, Bahasa isyarat. Aku gesit mengerak-gerak jemari tanganku.
Merangkai makna dari gestur-gestur tanganku hingga Sophia dapat mengerti
maksudnya.
“Latihan
mendadak lagi?” Sophia mengerutkan alis emasnya.
Aku membalas
dengan anggukan kepala.
Sekarang
Sophia kelihatannya kaget, dan cepat-cepat dia melepaskan diri dari balutan
selimut putih dan turun dari kasur. Kami bersama-sama berlari keluar kamar,
kemudian menuruni serangkaian anak tangga hingga kami keluar dari dalam bar
milik Oliver. Tak lupa mengenakan alas kaki sebelum keluar rumah.
Di luar,
sirene semakin terdengar lantang lagi. Kuperhatikan banyak sekali orang yang
berlari gontai menuju satu tujuan. Mereka masih mengenakan pakian tidur mereka.
Sama seperti aku dan Sophia. Ada beberapa orang yang lari berbondong-bondong untuk
mencapai lapangan utama. Aku melirik kearah Sophia, lalu memberi anggukan
kepala, petanda bahwa kita harus bergegas ke lapangan.
Situasi
heboh yang diiringi oleh perasaan paranoia akan serangan bom Nazi, sudah biasa terasa
disini. Awalnya kami menganggap remeh latihan rutin ini karena kami semua
percaya bahwa tidak akan ada pasukan yang mampu menghancurkan divisi pertahanan
kami. Tapi, kenyataan itu malah berujung pahit.
Sudah
hampir dua tahun, tentara Perancis tercinta kami mengangkat senjata terhadap
negara penginjak jerman. Pertarungan sengit awalnya dilakukan di luar
perbatasan wilayah kami, namun secara cepat situasi itu berubah. Kini,
tank-tank penghancur dan pasukan ekterminasi Nazi sudah mendobrak pintu wilayah
Perancis, dan sebentar lagi, mereka akan menguasai Ibu kota Paris. Maka, kami
semuanya harus bersiap-siap untuk menghadang agar kami tidak berada dalam
cengkraman aturan Nazi.
Aku dan Sophia
berlari cepat, gaun tidur putih Sophia terlihat mengibas udara malam. Sumber
suara sirene semakin terasa dekat. Ketika aku menengak kepala keatas, kulihat
lampu-lampu tembak sedang menerangi langit subuh yang masih belum menampakan
spektrum cahayanya.
Aku sudah
tahu fungsi lampu-lampu itu. Pasukan udara Nazi memang dikenal sebagai armada
yang suka menyerang pada malam hari. Dimana pengawasan dan kewaspadaan
masyarakat dan pasukan musuh sedang lengah. Mereka biasanya datang dikamuflase
oleh gulitanya malam, dan bom-bom mereka berjatuhan seperti geluduk yang
mengejutkan. Membunuh banyak sekali penduduk biasa yang sama sekali tidak
terlibat perang dalam sekali serangan.
Taktik
perang kebiadaban mereka.
Dan
lampu-lampu tembak itu, diharapkan bisa mendeteksi dan memperingati akan
kehadiran pesawat-pesawat pembom Nazi sebelum mereka menurunkan muatan. Dengan
begitu, pasukan pertahanan seadanya di wilayah kami masih bisa menjatuhkan
pesawat mereka.
Setelah
melewati beberapa rumah bertingkat dua dan lubung padi, Kami akhirnya sampai di
lapangan utama Pince. Kutilik adalah dua atau tiga lampu yang ditembakan ke
langit, serta beberapa senjata anti-pesawat yang sudah siap untuk menembak. Di
sebelah kiri dan kananku, aku melihat ada cukup banyak benteng berupa tumpukan
karung berisi pasir yang di gunakan sebagai sarang mesin senapan. Tapi, asal
kalian tahu, mereka yang mengoperasikan mesin-mesin senapan itu bukan berasal
dari militer Perancis. Mereka adalah masyarakat disini yang menjadi militia dan
mereka sama sekali tidak memiliki pengalaman dalam peperangan.
Aku tidak
tahu apakah ini adalah latihan biasa atau tentara Nazi memang sedang
perjalanannya menuju kemari. Sirene kencang itu tidak menjelaskannya. Di
belakangku, kurasakan genggaman tangan yang sangat erat dari Sophia. Aku terus
berada di dekatnya, menjaganya jika terjadi apa-apa sekarang. Siap
mempertaruhkan nyawaku demi menjaga adikku tercinta. Satu-satunya saudara yang
kumiliki dalam dunia ini.
“Madrigal!
Sophia!” suara keras yang memanggil nama kami terdengar dari belakang pundakku.
Aku menoleh dan melihat Oliver sedang berlari mendekati kami. Pakaian kemeja
kotak-kotaknya sekarang terlihat dibanjiri oleh keringat.
Sebelum aku
sempat memanggil namanya, suara toa yang lebih kencang dari suara sirene kini
terdengar. Situasai sekarang sangat ramai oleh suara-suara yang sangat merusak
gendang telinga. Di balik toa, kulihat ada seseorang berbadan tegap, berbahu
lebar, wajah tua dengan kumis tebal serta bibir yang menurun, bersiap-siap
berbicara. Dia mengenakan pakaian militer Perancis, serta topi komandan.
Tidak ada
yang tahu namanya, tapi dia sering-sering dijuluki dengan nama, Le Protecteur.
Yang artinya, Si penjaga.
Kami setia memperhatikan
apa yang hendak di katakan oleh orang itu. “Attention
s'il vous plaît, tout le monde. Seperti yang sudah kami ajarkan, tolong
semuanya bersiap-siap di posisinya masing-masing! Ingat, latihan ini demi
menjaga keberlangsungan hidup kalian!”
Setelah pernyataan
Le Protecteur, semua orang langsung bubar secara teratur. Setelah
berbulan-bulan latihan, mereka sudah tahu dimana posisinya masing-masing untuk
mempersiapkan kedatangan tentara Nazi nantinya. Sebelum menempati posisi, aku
terlebih dahulu menoleh ke Sophia, dan memberikan terjemahan Bahasa isyarat
soal apa yang baru saja di katakana oleh orang berpakaian militer itu.
Dia
mengangguk cepat, menandakan dia mengerti penjelasanku. Kemudian, secara
langkas kami berpisah dan bergegas menempati posisi masing-masing. Aku terlebih
dahulu mengambil senjata dalam gudang persenjataan, lalu melesat pergi.
Aku di
suruh untuk menjaga bagian utara desa. Dimana disana terdapat banyak
bangunan-bangunan tua yang sudah lama tak ditempati. Aku bersama lima orang
lainnya, yang usianya jauh lebih tua dan dewasa dariku, melangkah gesit memasuki
sebuah bangunan yang terbuat dari bebebatuan dan diperkuat oleh semen. Hawa
mengerikan yang berusaha melahap kami semua terasa nyata sekarang.
Kami kemudian
dibagi menjadi dua kelompok, yang satu kelompoknya terdiri dari tiga orang yang
masing-masing memegang senapan rampasan perang. Ada juga yang hanya memegang
pistol sebagai senjatanya.
Ini memang
latihan saja, tapi suasana disini terasa seakan-akan Nazi benar-benar berniat
menyerang Pince dalam waktu dekat. Semua orang terlihat waspada dan membuka
matanya lebar-lebar, membuat simulasi yang sangat terasa nyata.
Posisiku adalah
di atap bangunan tua itu bersama seorang pemuda desa bernama Aleron, sedangkan
satu orang lagi bertugas menjaga pintu masuk kami dari dalam.
Aku secara
secara khusus diberikan sebuah binokuler tua agar dapat memandang jauh. Berguna
agar aku bisa melihat kedatangan para Nazi sebelum mereka meledakan senjata
mereka. Pemilihan bangunan ini sebagai posisi pengawasan juga tidak dipilih
berdasarkan hitung kancing belaka, tentu bukan. Bangunan ini secara khusus
dipiliha karena merupakan bangunan tertinggi di Pince Utara, sehingga dari
ketinggian beberapa meter dari tanah, aku bisa melihat lebih jauh lagi dan
menghilangkan kesempatan musuh untuk melakukan serangan mendadak.
Mematahkan unsur serangan dadakan musuh, adalah
taktik terpenting. Begitulah mereka mengajarkanku selama latihan
dadakan. Angin dingin sangat mendesir beku di atap sekarang. Aku tak kuasa
menahan gigilku sehingga tanganku juga ikut bergemetar hebat. Merusak keterampilanku
dalam mengawasi.
Ada sebuah
tangan yang menepok pundakku. “Hé! Ne
tremble pas tant, vous allez perdre l'accent!” Rekan pejuangku berbisik. (Jangan
bergemetar, kau akan kehilangan fokus!)
Aku
mengangguk dan berusaha mengurangi gelentar tubuhku. Tapi rasanya sungguh
mendekati mustahil, dan aku terus tergigil. Dan itu membuat rekanku yang
berusia dua-puluh-tahun dan berambut hitam pekat, mendesis kesal.
“Ah! Donnez-moi les jumelles, Madrigal. Vous êtes
incompetent!” Dia kemudian berusaha merebut teropong itu
dariku. (Ah! Berikan teropong itu padaku, Madrigal. Kau tidak kompeten!)
Ketika aku menolak
dan melawan, dia terlihat marah dan berkata kencang, “Donne-moi à moi, Madrigal!
Maintenant!” (Berikan padaku, Madrigal! Sekarang!)
Tapi aku
menolak keras. Aku sungguh tidak ingin memberikan teropong ini padanya karena
inilah tugas yang dibebankan padaku. Dan aku tidak ingin memberikan tugas yang
jelas-jelas ditimpa untukku.
Ketika dia
menahan tubuhku, aku mendesis. “NON!
Laisser aller, Aleron.” (Tidak! Lepaskan, Aleron.)
Terganggu
oleh pertikaian kecil kami soal masalah siapa yang mendapatkan teropong,
mendadak mata falsetku melihat sebuah cahaya merah terang yang muncul beberapa meter
dari bangunan tua yang kutempati. Cahaya itu tampak diikuti oleh kabut merah
pekat. Sekilas, aku melihat kabut itu seperti …
“Merde! gaz toxique!” (Sial! Gas
beracun!) Salah seorang dari kelompok lain berteriak. “Les nazis nous attaquent!”
Kami semua
sekarang panik. Bagaimana tidak, kami hanya membawa senjata bekas dan perlengkapan
seadanya. Itu berarti kami tidak mempunyai masker gas untuk melindungi diri
dari kabut beracun itu. Mataku terus terpaku kearah kabut itu yang semakin
mendekati dan membalut bangunan tua yang menjadi pos kami. Ketika rekanku,
Aleron, bergerak menjauh agar terhindar kontak dengan kabut itu, entah kenapa aku
masih mempertahankan posisiku.
Saat ini,
aku kaku seolah-olah kakiku telah dilapisi semen keras. Aku ingin melangkah,
kabur dan mencari posisi aman dari serangan kabut mendadak mereka. Tetapi aku
tidak bisa.
Pikiranku
melantur. Ketakutan setengah mati jika berita yang mereka katakan mengenai
serangan Nazi itu benar adanya. Aku berusaha untuk menolak gagasan itu, tapi …
bukti nyata sekarang terpampang jelas di depan mataku. Berupa gas merah yang
semakin mendekati tubuhku. Membalutku dalam kabutan racunnya.
“Sedang apa
kau?! Allons!” Tak kusangka, Aleron
kembali dan menarikku dari kesemuan. Memaksa kedua kakiku untuk melangkah masuk
kedalam bangunan.
Kami segera
bergabung dengan regu lain yang juga sama terkejutnya dengan serangan mendadak
ini. Tidak ada yang mempersiapkan alat untuk mengantisipasi serangan racun. Kami
kesini hanya membawa senjata, pakaian yang kami kenakan, serta satu buah botol
minum. Tidak ada yang bisa digunakan untuk menyelamatkan hidup kami.
Saat ini,
kami terperangkap seperti tikus yang dimangsa oleh seekor kucing besar dan
ganas.
“Tutup
pintunya!” perintah seseorang. “Kita tidak mau gas itu masuk kedalam! Tutup semua
celah agar gas itu tidak masuk!”
Kami langsung
melaksanakan perintahnya. Menutupi semua ceruk celah yang bisa kami temukan
dengan kain-kain kotor yang masih terdapat dalam bangunan ini. Kemudian, kami
semua terdiam. Menunggu kepastian, dan ternyata, rencananya berhasil. Tidak ada
gas yang lolos dari sumbatan kain-kain itu.
“Bagaimana
ini?! Kita tidak bisa kabur sekarang! Merde!
Merde!” seorang laki-laki berpakaian sweater abu-abu rajutan serta topi
kecil terdengar panik. “Kita terjebak, Nazi menyerang! Dan kita akan mati
sebentar lagi juga! Tamatlah riwayatku! Oh
non …”
Kami semua
yang terperangkap merasa demikian. Kami akan mati, dan kami tahu itu. Tidak ada
belas kasihan jika bertatapan langsung dengan pasukan Nazi. Mereka akan mengeksekusimu,
membunuhmu ditempat. Tak peduli apakah engkau mempunyai sanak saudara, istri,
anak, atau usiamu masih belia.
Tidak ada belas kasihan. Itu yang
paling ditegaskan ketika kami semua diberi penjelasan masalah Nazi dan apabila
kami tertangkap.
Tiba-tiba
laki-laki berpakaian sweater rajutan itu menembak mata kearahku. Tatapannya geram
sekaligus ketakutan. Dia berjalan kearahku, jari telunjuknya terarah pada
wajahku. “Ini … ini semua karenamu, bocah! Karena – karena kamu tidak melakukan
tugas pengawasanmu dengan baik, kita – kita sekarang terperangkap dan menunggu
mati! garçon stupide!”
Bohong jika
kukatakan aku tidak terperanjat dan merasa bersalah. Dan bohong kalau kukatakan
ini semua karenaku. Yang sebenarnya membuat ulah adalah Aleron, dan dia
sekarang terlihat menghindari adu mulut dengan siapapun. Tapi, aku juga tidak
ingin menariknya kedalam masalah ini, karena aku tahu, walaupun aku menyalahkan
dirinya karena situasi sekarang, itu tetap tidak akan mengubah fakta bahwa kami
terperangkap dan gas mematikan tengah mendekat.
“Hé! Jelaskan mengapa kau lengah dalam
pekerjaanmu!” Dia didera emosi. “Karena kau, kita semua dalam situasi ini!”
Aku
menghela napas, dan enggan menjawab. Lelaki bersweater rajutan itu semakin naik
pitam ketika jawaban yang kuberikan hanyalah sebatas helaan napas saja. Dan dia
langsung melangkah cepat menuju posisi berdiriku. Tangannya dikepalnya kuat
siap menghantamku, matanya berapi-api.
Sudah biasa
bagi wajahku dihajar habis-habisan. Rasa sakit yang mengalir bak voltase
listrik, sudah biasa kurasakan. Semenjak kedua orang tuaku meninggal dan
sebelum aku dan Sophia diasuh oleh Oliver, aku sudah biasa dihantam hingga
babak belur karena sering mencuri makanan kecil untuk memuaskan perutku dan
adikku Sophia. Jadi, aku tidak mempermasalahkan niatan orang marah ini.
Aku menelan
ludah, kemudian mengangkat wajahku keatas, bersiap-siap menerima tinjunya. Dia mengangkat
tangan, sebelum dia sempat menurunkan dan menonjok wajahku, tiba-tiba pintu
bangunan mendobrak terbuka. Semua perhatianku tertuju pada pintu kayu yang entah
kenapa tiba-tiba terbuka, padahal sudah dipastikan pintu itu terkunci. Anehnya
lagi, kabut merah itu tidak masuk kedalam. Kabut itu hanya bertenggar disana,
menutupi jalan keluar kami satu-satunya.
Kami semua
merasa terheran.
“Ce que le ...” gumamku bingung, kujatuhkan
senapanku. (Apa yang …)
Dalam
hitungan detik selanjutnya, kelima orang dalam ruangan ini mengangkat laras
senapan bekas mereka dan membidik tepat kearah kabut itu. Menunggu apakah ini
adalah trik muslihat teknologi Nazi atau bukan. Kami semua sudah tahu -mau itu
petani atau saudagar kaya sekalipun- bahwa negara Nazi Jerman mempunyai senjata
mutakhir dan teknologi penuh tipu muslihat yang tujuannya hanya untuk membunuh
saja.
Setelah
beberapa detik merasa gelisah, seseorang dari mereka berteriak memberi perintah
untuk menembak. “Tout le monde, pousse!
"
Seperti
petasan pada perayaan hari kemerdekaan, senapan-senapan tua mereka meledak-ledak
memuntahkan puluhan peluru dan mengenai kabut merah itu. Tetapi itu ada efek
apa-apa. Peluru itu hanya mengikis kabut merah itu saja. Aku sungguh tidak tahu
apa yang terjadi. Aku perlahan-lahan merayap kaki menuju sudut tembok. Merasa
ada sesuatu yang membahayakan yang sebenarnya tersimpan dalam kabut misteri
itu.
Semuanya
masih memegang senjatanya tinggi. Hening. Lalu, setelah beberapa saat keheningan
itu pecah oleh suara aungan keras dan berat layaknya angunan singa kelaparan.
Aku
terkesiap, jari-jemariku menyentuh tembok dalam perasaan takut. Teriakan
kencang itu datang dari kabut itu. Itu sudah bisa kupastikan.
Layaknya deraian
angin, kabut merah itu cepat memasuki ruangan. Dan ketika kabut itu mengisi
udara dan membalut kepala hingga dada kelima orang itu, mereka sekejap langsung
roboh. Menghantam lantai tua bangunan. Tak bernyawa.
Aku semakin
mengencet tembok dengan punggungku. Kabut itu sekarang mendekati posisiku.
Kakiku gemetar sangat hebat dan aku tidak bisa mengendalikannya. Tiba-tiba,
kabut itu terlihat mengumpal, membentuk sesuatu yang menyerupai semacam hewan liar.
Perlahan, kabut itu mulai mengeras hingga kelihatannya bukan gas lagi. Kabut
itu kini berubah menjadi padat. Menyerupai hewan liar yang berdiri dengan empat
kaki, dan memiliki tanduk satu.
Aku
menggeligis dan gidik memperhatikan bentuk hewan mengerikan di depanku. Aku
hapal baik anatonomi hewan dari buku-buku berian orang tuaku sebelum mereka
meninggal dunia, dan hewan buas ini kelihatannya gabungan dari beberapa hewan
yang kukenali.
Mitos menyebutnya
sebagai …. Chimera.
Hewan
mengerikan dan buas ini berkulit merah darah. Kepala serta badannya menyerupai
kepala singa yang memiliki tanduk runcing di keningnya. Badan singa itu
bergabung dengan ular kobra yang menjadi ekor hewan aneh ini.
Lebih
anehnya lagi, hewan ini dapat berbicara. Intonasinya berat dan terdengar dendam
sekali. “Kemarilah … Biarkan aku mencabikmu. Merobek tubuhmu. Menghancurkan
tengkorakmu.” Kata-kata itu seperti bisikan kematian ketika cakar-cakar
tajamnya mengambil satu langkah maju.
“Jangan
takut, bocah kecil. Kematianmu akan berlangsung sekejap dan tak akan terasa.” Dia
membuka mulut buas yang dipenuhi oleh deretan taring-taring pemangsa manusia. Dalam
satu gerakan, dia berusaha mencabik kepalaku. Aku refleks mengatup mata dalam
perasaan takut.
Aku tidak
tahu kapan keajaiban yang menyelamatkan nyawaku hadir, tapi aku segera
mendengar tumbukan keras dari tembok samping kiriku. Kukira aku sudah tewas.
Tapi ketika aku membuka mata, Chimera itu kelihatannya terluka dan sudah melepaskan
tatapan mangsannya dariku.
“Jadi kau
datang untuk menyelamatkan anak kecil ini?!” Chimera itu mengamuk. “Sekarang –
kaulah yang akan kucabik duluan!” Dengan satu gerakan gesit, kulihat Chimera
itu entakkan tubuh menyerang sesuatu didepannya yang tampak seperti kilauan cahaya
putih.
Aku tidak
tahu apa itu, dan aku lebih baik tidak tahu.
Chimera itu
segera terhempas lagi seakan-akan dia bukan apa-apa. Kuperhatikan sosok
bercahaya itu mengeluarkan kilatan kuning terang. Bentuknya menyeruapi pedang. Dengan
satu ayunan pedang cahayanya, Chimera itu sekali lagi menghantam tembok, bahkan
menghancurkan tembok itu.
Ketika aku
merasa pertarungan ngeri kedua mahuluk garib ini selesai, ternyata Chimera itu merentangkan
tubuhnya menyerang sosok cahaya putih itu. Gigi tajamnya merobek sesuatu di bagian
paling atas sosok cahaya itu, yang kukira berfungsi sebagai semacam kamuflase yang
membuat sosoknya berkilau.
Berkas
kilauan cahaya itu segera memudar dan menampakan sosok wanita berambut perak
lurus yang membentang hingga bahunya. Sosok itu anggun dan berbadan indah, yang
dadanya ditutupi oleh berlapis-lapis pakaian besi putih suci, sedangkan
pinggang hingga lututnya tertutup oleh kain hitam yang menyerupai rok. Pada
betis wanita ini, kutilik ada dua greaves
yang diikat kencang. Alas kakinya terbuat dari besi yang meruncing ujungnya.
Tangannya dibalut
oleh baja putih pelindung tangan dan pada tangan kanannya, dia tampak mencengkram
kuat sebilah pedang terasah dan sudah dilumuri darah yang kuduga adalah darah
Chimera itu.
Dia
mengenakan helm yang menutup semua bagian kepalanya kecuali matanya yang memancarkan
warna madu. Kuperhatian di atas helmnya, ada bagian yang patah karena gigitan
Chimera itu.
Aku tidak
tahu mahluk semacam apa dia yang mendadak muncul dari balik kilauan cahaya.
Namun, pada punggungnya, aku melihat sayap-sayap berbulu putih yang menonjol
keluar dari lapisan baja dan membentang lebar, bahkan melebihi ukuran tubuh si
Chimera itu.
Sempat
terpikirkan bahwa sosok ini adalah sesosok … malaikat. Tapi, apakah benar dia seorang
malaikat suci nan abadi yang sering kudengar dari cerita-cerita si pendongeng langgananku
itu?
Belum
terlintas jawabannya, sosok wanita anggun itu bergerak gesit, walaupun bobot pelindung
baja yang dia kenakannya kutahu sangat berat. Dia mengibas pedang perunggunya
sekali lagi, dan menyayat Chimera yang sekarang sangat terlihat di ambang
kematian.
Chimera itu
roboh, darah merah bercucuran hebat dari luka-luka yang dideritanya. Sosok
wanita itu kemudian membungkukan badan, mencengkram bulu-bulu merah singa itu
dan mengangkat kepalanya tinggi.
Aku
menyaksikan perseteruan di antara dua mahluk gaib ini. Aku sungguh tidak tahu
harus berkata apa, aku termangu-mangu dalam pemandangan yang baru saja
kusaksikan.
Wanita anggun itu kemudian menyeret
Chimera itu layaknya anjing hingga darahnya mengotori lantai, dan
membelakangiku. Sayap-sayap yang terpisah beberapa sentimeter itu mengibas
sekali, membuat wajahku merasa desiran udara subuh.
Aku tergagap ketika pingin bicara. “Si
… si … siapa kamu?” Aku bertanya, tak bisa mengendalikan intonasiku agar tidak
gemetar.
Lalu, kuperhatikan helm wanita itu
berputar, melihat tepat ke mataku. Kami menatap satu-sama-lain. Tapi tidak ada
kata-kata, tidak ada perkenalan diri. Dan aku masih didera perasaan penasaran
soal siapa dirinya dan sosok apa dirinya. Akan tetapi, dengan satu kibasan dari
sayap-sayap putih kuatnya, dia langsung terbang tinggi, menghancurkan beton-beton
bangunan seakan-akan mereka kapas.
Dia menghilang, memasuki langit-langit
yang mulai memberikan warna pertamanya.
Aku terbungkam. Ketika kulihat
kedepan, ternyata darah Chimera yang tadinya mengotori lantai bagaikan sihir,
mendadak lenyap. Tapi, kematian rekan-rekanku masih tetap pasti. Mereka masih
tergeletak tak bernyawa di lantai.
Aku merayap kakiku kedepan, berusaha
keluar dari tempat mengerikan itu. Tetapi aku tak bisa melenyapkan memoriku
tentang apa yang baru saja kusaksikan.
Dari lubuk pikiranku, aku yakin sosok
yang baru kusaksikan, yang anggun dan cantik itu, adalah sesosok Malaikat dalam
cerita-cerita pendongeng itu.
Saat itulah, kutemukan kebenaran soal
malaikat.