Aku
duduk dihamparan rumput hijau sambil memandang sepatuku, sementara kubiarkan cahaya
fajar menghangatkan suasana hatiku. Aku terus memandang sepatu merah converse-ku yang sudah usang,mengingat
kembali serpihan demi serpihan memori perjalananku dengan sepatuku yang begitu
banyak. Aku ingin berbagi cerita kepada kalian yang sedang membaca ini. Mungkin
kalian tidak akan percaya begitu saja dengan apa yang akan kukatakan, tapi aku
harap kau menghirup napas tenang sebelum lanjut membaca tulisan ini.
Sudah?
Baiklah kalau begitu.
Namaku
Amadeus Levi. Usiaku 16 tahun. Dan aku bisa menjelajahi waktu.
Ya,
itu benar. Aku bisa menjelajahi waktu, kembali melihat ke masa lalu, atau
menempuh masa depan.
Izinkan
aku memperkenalkan diriku dulu. Namaku Amadeus Levi. Kau boleh memanggilku
Levi. Aku sudah tinggal di kota apel, New York, sedari kecil. Mereka-kedua
orangtuaku- pindah kewarganegaraan sebelum aku lahir. Ibuku berdarah kental Prancis
sementara Ayahku keturunan Indonesia Italia. Aku tidak begitu mengenal Ibuku.
Beliau sudah meninggal dalam proses melahirkanku. Tidak ada senyuman atau
tangisan bahagia ketika aku pertama kali membuka mataku. Tidak ada pelukan
hangat. Tidak ada helaan napas hangat Ibu di ubun-ubunku. Dan, Ayah membenciku
seumur hidupnya. Aku tidak pernah mengerti kenapa Ayah membenciku, tapi dia
pernah bilang bahwa aku adalah sebuah kesalahan besar untuknya. Ayah menyebutku
sebagai anak pembawa sial. Aku rutin menangis sepanjang malam. Kau tahu, aku
tidak pernah merasakan apa itu kasih sayang. Aku kerap kali melihat anak
seusia-ku bermain-main bersama orang-tua mereka, meresapi kehangatan senyum dan
tawa dari mulut mereka. Aku tidak pernah merasakan itu.
Ironis
boleh kau sebut, aku terlahir di dunia tanpa senyuman dari siapapun. Tidak ada
yang mencintaiku.
Namun,
kurasa itu tidak penting. Aku tidak akan berbicara panjang-lebar mengenai
hidupku yang suram. Degan begitu aku tidak perlu menangis dan kau tidak perlu
tahu alasan dibalik air mataku.
Tidak
ada yang tahu mengenai kemampuanku. Aku selalu merahasiakannya sebaik mungkin.
Beruntung aku tidak punya siapapun yang mempedulikan aku, jadi aku tak perlu
bersusah payah menyembunyikannya.
Kau
mungkin bertanya-tanya saat ini, jika aku bisa menjelajahi waktu, mengapa aku
tidak penah bertemu Ibuku? Well, jika
aku mengetahui jawabannya aku pasti memberitahu kalian. Sejauh pertulanganku
melintasi waktu, aku tak pernah bisa menemukan Ibuku. Maksudku, aku memiliki
foto Ibu ketika beliau masih muda, tapi entah kenapa aku tak bisa menemukannya
meskipun aku sudah berusaha keras mencarinya. Aku rasa ini ada hubungannya
dengan hukum perlintasan waktu yang belum ditemukan oleh umat manusia.
Aku berdiri dari posisi dudukku, membersihkan sisa-sisa
rumput yang menempel di celanaku, lalu mulai berjalan melintasi padang rumput
hijau nan luas demi menunju ke sekolahku. Aku keluar dari taman central park
New York dan menelurusi jalanan beton yang ramai. Walau hari masih pagi tapi suasana
kota New York sudah padat oleh orang yang berlalu lalang, pakaian mereka
terhormat dan mengkilap sekali seakan hendak bertemu ratu Inggris. Suara
klakson dan derungan mobil pribadi membuat telingaku sakit, sementara asap knalpot
mengepul di atmosfir pagi dan membuatku sulit bernafas. New York memang adalah
kota yang tidak pernah beristirahat, setiap waktu selalu seperti ini.
Aku bersekolah di sebuah institusi khusus dimana mereka menerima
anak-anak yang memiliki masalah mental.
Oh, aku lupa menyebutkan bahwa aku berbeda dari anak seumuranku karena aku
menderita penyakit mental yang mereka sebut Dyslexia.
Penyakit yang membuatku tak bisa berfokus pada pelajaran walau aku sudah
berusaha sekeras dan sesungguh mungkin, penyakit yang membuat pandangan mataku
berputar-putar ketika disuguhkan deretan angka yang sederhana. Daya serapku
terhadap penjelasan guru juga terbatas, aku tidak bisa menyerap setiap
perjelasan yang keluar dari mulut guru di sekolah umum. Rasanya aku ingin
menyumpel mulut guru-guruku dengan gumpalan tisu jika mendengar mereka
berbicara sesuatu yang tak kupahami.
Satu kelasku dihadiri oleh 10 murid yang penyakitnya tak
jauh berbeda dariku, mulai dari penyakit Dyslexia seperti aku, Down Syndrome, Schizophernia,
hingga Alzheimer. Secara pribadi, aku senang berada disini karena disini aku
merasa aku tak perlu menyembunyikan kekuranganku dari mereka seperti yang
selalu kulakukan ketika menghadiri sekolah-sekolah umum. Biasanya anak sekolah
umum akan memukul, mendorong, dan menyiksaku ketika tahu aku punya kondisi
mental yang berbeda. Namun disini, aku diterima dengan hangat oleh mereka.
“Hey, aku disini! Duduk bareng aku saja!” sahut temanku
bernama Roy Jacobson. Aku berdiri diam selama beberapa detik, kemudian melirik
kekiri dan kananku. “Kau manggil aku?” tanyaku ragu-ragu.
Roy mengerenyitkan alisnya. “Ya iyalah aku manggil kau,
Levi. Sini duduklah bersamaku.”
Aku tak berbicara banyak dan menuruti kemauannya.
“Jadi,” katanya. “Apa kau sudah tahu beritanya?”
Aku memandangnya sambil berbicara dengan nada penasaran. “Tahu
apa?”
“Guru sejarah yang biasa mengajari kita beberapa hari yang
lalu terkena penyakit diabetes dan dia sedang dirawat di rumah sakit sekarang,”
jawabnya. “Siapa yah namanya. Ah, aku lupa.”
“Maksudmu … Miss Anabella guru sejarah kita?”
Roy menjentikkan jarinya dengan semangat. “Nah! Itu
namanya. Entah kenapa aku selalu lupa dengan Miss Anabella.”
“Kasihan sekali
Miss Anabella,” kataku dengan nada prihatin. “Aku selalu suka dengan caranya
dia mengajar kita.”
“Ya, aku juga. Sayang sekali dia harus sakit padahal minggu
ujian sebentar lagi.” Balas Roy. “Jadi, karena Miss Anabella sakit, akan ada
guru baru yang mengganti Miss Anabella.”
“Oh yah, siapa namanya?”
Tiba-tiba pintu kelas terbuka, terdengar suara decitan
pintu yang memekikkan telinga. Seorang wanita berambut panjang dengan postur
tegap memasuki pintu. Tanpa berpikir panjang aku langsung bisa menebak itu
adalah guru pengganti yang dimaksud Roy.
“Selamat pagi, anak-anak.” Ucap guru tersebut. Kemudian
dia dengan cekatan mengambil spidol di depannya lalu menuliskan namanya di
papan tulis. “Namaku Miss Hilton. Dan aku akan jadi guru pengganti kalian
sampai guru biasa kalian Miss Anabella sembuh. Hari ini kita akan belajar
tentang sejarah hidup seorang ilmuwan terkenal sepanjang masa. Apa disini ada
yang tahu siapa dia?”
Kelas terdengar hening setelah pertanyaan itu terlontar
dari mulut Miss Hilton. Aku berpikir, sepertinya dia lupa kalau anak-anak yang
sedang dia ajari saat ini tidak sama seperti anak-anak yang dia ajari di
sekolah umum. Seharusnya Miss Hilton tidak menanyakan itu kepada kami, itu
hanya mempertegas kekurangan yang kami miliki.
Saat aku mengira Miss Hilton akan meminta maaf atau melakukan
aksi apapun untuk mengalihkan pembicaraan, Miss Hilton malah mendadak tersenyum
riang seakan dia tak pernah menanyakan itu. “Sama,” katanya. “Aku juga tidak
tahu. Maka dari itu, kita ada buku modul yang bisa menjelaskan siapa orang yang
kumaksud. Silahkan, anak-anak, aku harap kalian semua penasaran sepertiku. Ayo,
kita buka halaman 168 bersama-sama.”
Aku membuka halaman buku mengikuti teman-temanku yang
lain, lalu membaca judul halaman yang terletak dibagian atas halaman. THE LIFE OF ALBERT EINSTEIN.
Miss Hilton kemudian mulai menjelaskan dan membicarakan
kehidupan sosok ilmuwan termasyhur bernama Albert Einstein. Aku tak mengalihkan
pandanganku atau melepaskan pakuan fokusku pada Miss Hilton ketika dia
menjelaskan riwayat kehidupan Albert dari masa kecil Albert yang memiliki
penyakit mental, hingga Albert dewasa dan menjadi seorang ilmuwan terkenal
sepanjang masa meskipun dengan kekurangan masa lalu yang dia miliki.
Atraktif dan luwes,
itu yang aku nilai dari cara mengajar Miss Hilton. Setelah kelas selesai dan
Miss Hilton meninggalkan kelas, aku dan Roy beranjak keluar dari kelas dan
berjalan menuju kantin untuk makan siang. Aku duduk bersama Roy, beberapa menit
kemudian seseorang anak berambut ikal ikut duduk bersama kami.
“Bagaimana liburan semester kalian? Apa kalian
jalan-jalan liburan kali ini?” tanyanya sambil duduk disampingku.
“Aku senang kau bertanya, Fedrick,” jawab Roy. “Kebetulan
aku dan ayahku pergi berkemah liburan ini. Seru sekali. Kami duduk dimalam hari
ditengah api unggun. Bagaimana denganmu?”
Fedrick tertawa. Dia selalu punya suara unik ketika sedang
tertawa. Kau tahu, mirip seperti suara dolphin sea world yang sedang memohon
makanan dari penjaganya, sedikit lucu dan menyedihkan. “Well, kalau aku, aku
liburan ke Negara Russia bersama ibu dan ayahku. Menikmati musim dingin dan
liburan mewah disana. Ya kau tahulah, keluargaku kaya dan kami kebingungan
bagaimana cara menghabiskan uang.”
“Wah, kau beruntung sekali.” balas Roy dengan nada takjub.
Sebenarnya, aku benci ketika Roy takjub atau merasa sedikit terkesima pada
Fedrick, karena menurutku Fedrick hanya seorang anak kecil bodoh yang terlalu
dimanja oleh orang tuanya. Aku ingin mengatakan itu, tapi aku malah diam dan
mengunyah makananku.
“Uang bukan masalah besar bagi keluargaku,” Fedrick tak
bisa menutup mulutnya, aku ingin sekali membuatnya bungkam. “Setiap liburan
semester aku selalu liburan. Seperti liburan yang kemarin ketika aku dan
keluargaku berlibur di Bali, atau seperti saat aku berlibur dan mengunjungi
Menara Effiel.”
“Wah, aku ingin sekali ke Paris. Aku cinta sekali pada
bahasa mereka,” kata Roy. “Kota cinta, itu yang mereka sebut soal Paris. Aku
ingin sekali kesana, tapi keluargaku tak bisa kesana.”
“Ya, itu karena keluargamu tak sekaya keluargaku yang-“
Aku tiba-tiba meletakkan sendok-ku dan memandang Fedrick
dengan tatapan kesal. “Fedrick. Berhenti membicarakan kekayaan keluargamu
kepada kami. Ya, kami tahu kau kaya tapi kau tak perlu membicarakannya didepan
kami.”
Mendengar bentakkanku, Fedrick hanya tersenyum dan
melihatku dengan mata menantang, seperti banteng yang hendak menyerang matador
yang membuatnya marah. “Bagaimana denganmu, Levi? Apa kau pergi kemana-mana
liburan kemarin?”
“Tidak,” aku menjawab supel. “Aku tidak melakukan apa-apa
liburan ini.”
Senyuman Fedrick semakin menjadi. “Ya, itu karena kau
tidak punya siapa-siapa yang bisa mengajakmu liburan. Kau cuma anak berpenyakit
mental yang tidak punya orangtua.”
Aku meninggikan nadaku, marah padanya. “Jaga mulutmu! Aku
masih punya ayahku.”
“Ya, tapi ayahmu sendiri membencimu.”
Sesungguhnya kalimat itu yang paling menusuk jantungku. Mau
bagaimana juga, ucapan Fedrick benar. Aku punya ayah, tapi ayahku sendiri
membenciku. Aku tak berkutip atau membalas ucapannya, aku berdiri dari tempat
duduk–tak menyadari bahwa aku mulai menangis-dan berlari sekencang mungkin
meninggalkan ruang kantin.
Aku masih bisa mendengar jeritan Fedrick yang membuat
hatiku semakin sakit. “YA, KAU TIDAK PUNYA SIAPA-SIAPA! INGAT ITU! DASAR ANAK
ANEH!”
Aku terus berlari dan menangis. Tempat yang sunyi, itu yang aku butuhkan sekarang. Aku secara
refleks memasuki ruang kebersihan dimana para janitor menaruh peralatan
bebersih mereka, lalu mengunci diriku didalam ruangan itu. Aku menyender
punggungku ke pintu dan menangis sejadi-jadinya. Aku benci ketika harus menghadapi
kenyataan pahit hidupku, rasanya sakit. Seperti menelan duri yang membuat
kerongkonganku perih dan berdarah.
Namun, aku selalu punya caraku sendiri dalam menghadapi
rasa sakitku. Aku mengepalkan kedua tanganku, memejamkan mataku, lalu mulai
memfokuskan pikirkanku, membuang segala masalahku keluar jendela pikiranku. Aku
mulai merasakan dunia disekelilingku memudar, menjauh seakan aku memasuki ruang
hampa. Kemudian suara-suara kecil seperti desiran udara, suara cicak yang
menempel di ubin-ubin ruangan, mulai perlahan menghilang. Kesunyian penuh
kemudian mengisi ruangan.
Aku mulai transisi perjalanan waktu-ku.
Ketika aku membuka
mataku, aku bukan lagi berada dalam ruang penyimpanan alat kebersihan yang kumuh
dan gelap. Kini, aku berdiri di sebuah ruangan kelas, dengan aroma buah apel
yang sungguh tajam. Di depanku, aku melihat seorang anak kecil berusia 10 tahun
yang berpakaian seragam yang tengah menulis di papan tulis. Aku mulai berjalan
mendekati anak itu. Dia mendengar suara derapan langkahku, lalu menoleh
kebelakang dengan wajah kaget.
Aku mengenal raut dan bentuk wajah itu, aku pernah
melihat anak ini di buku pelajaranku. Lalu tak perlu waktu lama untuk menyadari
bahwa anak kecil itu adalah Albert
Einstein.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ayo agan-agan jomblo maupun yang engga, silahkan comment. Hatur Nuhun sa Nuhun nuhunna