Chapter A :
Death at Home.
Di sebuah rumah
di distrik London, tinggallah sepasang suami istri muda, Mr. dan Mrs.
Butterham. Mereka sudah lama bertempat tinggal disana, hampir 5 tahun lamanya,
hidup bersama di distrik London yang terkenal cukup senyap karena jauh dari
area perkotaan. Mereka saling mencintai, hal itu tak di ragukan lagi jika
melihat keharmonisan rumah tangga mereka, bahkan tetangga-tetangga mereka yang
tidak menyukai keromantisan yang mereka pertontonkan di depan umum hanya bisa
menatap mereka dengan penuh rasa kesal dan cemburu.
“Apa kau percaya
itu,” ucap Mrs. Renium kepada seorang temannya. Mrs. Renium adalah seorang janda muda yang telah cukup lama
membenci Mr. dan Mrs. Butterham. “Kenapa mereka harus mempertontonkan cinta
mereka di depan umum? Sungguh, membuatku muak saja.”
“Kau cemburu?”
ketus Mrs. Vanadium, seorang janda muda berusia 23 tahun, suaminya meninggal
akibat kanker setahun yang lalu. “Kalau kau cemburu, lebih baik kau tidak
melihat mereka.”
“Aku tidak
cemburu,” balasnya. “Siapa bilang aku cemburu? Aku hanya membenci mereka, itu
saja.”
Mrs. Vanadium
tersenyum lebar mendengar celotehan temannya, sebagian besar merasa kasihan
pada Mrs. Renium. “Kalau aku suka melihat mereka,” kata Mrs.Vanadium. “Mereka
mengingatkanku pada mendiang suamiku, semua kenangan indah yang sudah kulalui
bersamanya.”
Mrs. Vanadium
bertempat tinggal dua blok dari rumah Mr. dan Mrs. Butterham.
Mrs. Vanadium
adalah janda kaya, harta yang berlimpah ia peroleh dari bertahun-tahun bekerja
di sebuah pembangkit listrik bertenaga nuklir bersama suaminya di sebuah desa
dekat Wales, uang yang dihasilkan sangat banyak, tapi setelah suaminya
terjangkit kanker akibat bekerja disana, mereka tak menunda untuk mengundurkan
diri dari pekerjaan itu lalu memutuskan untuk pindah tempat tinggal, jauh dari
segala macam radiasi yang dapat mengancam mereka, dengan harapan penyakit suaminya
dapat di tekan sebelum bertambah parah. Namun, harapan itu justru kandas ketika
suaminya tiba-tiba tewas di kasur setelah makan malam. Semenjak itu, ia harus
hidup sebagai seorang janda. Tidak lama kemudian, Mr dan Mrs. Butterham menempati
rumah lelang yang cukup besar yang di minati masyarakat yang tidak mempunyai
uang yang cukup. Mereka menjadi teman baik, bahkan mengenal kebiasaan
masing-masing. Ia cukup bahagia melihat keromantisan mereka.
Pada suatu malam,
pukul 21:13, terdengar suara jeritan dari rumah Mr. dan Mrs. Butterham. Suara
itu keras, mengerikan, dan sangat nyaring hingga membangunkan para tetangga
yang sedang asik tertidur. Orang pertama yang hadir di lokasi adalah Mrs.
Renium, ia melihat darah pekat mengotori karpet lorong menuju kamar tidur.
“Ya, Tuhanku!” Mrs.
Renium secara reflek menutup mulut dengan kedua tangannya. Ia mulai mengikuti
jejak darah itu yang menuntunnya melintasi lorong dan memasuki kamar suami
istri tersebut. Apa yang selanjutnya dilihatnya sungguh membuat Mrs. Renium
terkejut penuh takut. Di dekat pintu kamar mandi, tubuh kaku Mrs. Butterham
terbaring disana, dengan darah segar melumuri pakaian dan wajahnya.
Seketika Mrs.
Renium ingin muntah, instingnya mengatakan ia harus segera keluar dari rumah
ini sebelum melihat hal yang lebih mengerikan lagi. Tapi ketika ia membalik
badan, ia mendengar rintihan lemas yang datang dari pintu di depannya, kamar
tamu. Dengan langkah gemetar, Mrs. Renium menghampiri suara itu, membuka pintu
kamar tamu, lalu menemukan suaminya Mrs. Butterham terduduk di tembok dengan
pisau berdarah di genggaman tangan kanannya, wajahnya sama berdarahnya seperti
pakaian merah yang ia kenakan.
Dengan lemas Mr.
Butterham menodongkan pisau kepada Mrs. Renium. Ia sekejap terserang takut dan
mulai melangkah mundur, tapi kalimat yang kemudian dilontarkan Mr. Butterham
benar-benar membuatnya kebingungan.
“Tolong … aku,” ucapnya
lemas. “Siapa saja, tolong … aku,”
Tapi sudah
terlalu terlambat, ketika Mrs. Renium hendak menghampirinya, Mr. Butterham
meninggal karena kehabisan darah. Mrs. Renium berlari menuju ruang tamu, lalu
menelpon polisi. Ketika menunggu nada sambung, seseorang muncul dari balik
pintu.
“Mrs. Renium!”
tukas Mrs. Vanadium dengan panik. “Apa yang terjadi disini?!”
Saat Mrs. Renium
hendak menjawab, tak sengaja ia melihat cipratan darah di lengan gaun tidur
Mrs. Vanadium. Ribuan pemikiran buruk mulai mengisi kepalanya. Apakah itu darah manusia? Apa aku harus lari
dan berteriak selagi bisa? Apa Mrs. Vanadium membunuh Mr. dan Mrs. Butterham? Entahlah,
yang jelas ia harus segera melaporkan kejadian ini kepada polisi ketika
panggilannya diangkat polisi.
“Halo, apa ada
yang bisa kami bantu?” tanya operator kepolisian London.
Mrs. Renium berusaha
untuk tenang, lalu menjawab, “Telah terjadi pembunuhan … di desa Ulterdown, no.
331.”
Mrs. Vanadium
langsung terkejut, matanya tampak begitu syok ketika mendengar kalimat itu. Ia
segera mengucapkan, “Oh, Tuhan!”
“Tenanglah dulu.
Terlebih dulu, dengan siapa sedang aku berbicara?” tanya operator itu.
“Dengan … dengan
Mrs. Oksi Renium.” jawabnya tenang.
“Baiklah, Mrs.
Oksi Renium. Tenanglah dulu. Kami sudah mengirimkan beberapa unit polisi ke
rumah itu. Tapi, apa kau bisa menggambarkan situasi dan keadaan di sana?”
Operator itu tetap berusaha untuk tenang, mengikuti protokol yang telah
diberikan.
Seketika
gambaran mengerikan mayat Mr. dan Mrs. Butterham terlintas dalam benaknya,
membuatnya langsung panik. “Ya, Tuhanku! Banyak sekali darah! Banyak sekali
darah! Aku tidak pernah lihat darah sebanyak itu …” suaranya menjerit dalam
tangisan.
“Baiklah Mrs.
Renium. Apa kau bisa memberitahuku ada berapa orang yang terluka?”
“Tidak ada yang
terluka,” jawabnya, mencari kembali ketenangannya. “Tapi ada dua orang yang
tewas disini …”
“Apa kau
mengenal mereka?”
Mrs. Renium
mengangguk kepala. “Ya, mereka tetanggaku.”
“Baiklah Mrs.
Renium. Terima kasih atas informasinya, polisi akan sampai di TKP beberapa
menit lagi.”
Kemudian panggilan
itu berakhir.
…..
Detektif Ratih
Dewi Very adalah yang pertama tiba di lokasi pembunuhan. Ia melewati garis
polisi lalu melihat kesekelilingnya. Waktu sudah tengah malam tapi lampu depan
tampaknya tidak di nyalakan oleh pemilik rumah. Ratih kemudian memasuki pintu
depan, menemukan banyak sekali pita polisi yang membentang dari satu sisi
tembok ke sisi lainnya. Ada seorang polisi yang tengah berjaga di dekat tangga.
“Dimana mayat
Mr. dan Mrs. Butterham?” tanya sang Detektif. Tanpa basa-basi polisi itu langsung
mengantarkan Ratih menuju kamar tidur pasangan tersebut.
“Terima kasih,
kau boleh pergi sekarang,” ucapnya. Dan polisi itu pun pergi.
Detektif Ratih
melihat-lihat kamar pasangan muda ini. Dari laporan interogasi yang sudah
dilakukan oleh polisi, di peroleh informasi bahwa Mrs. Butterham tewas dekat
pintu kamar mandi. Ia memandang kearah depan, melihat benar adanya mayat Mrs.
Butterham disana. Dengan pelan dan hati-hati, Ratih melintasi kamar tidur lalu
berjongkok dekat mayat Mrs. Butterham, mengamati dengan saksama.
Terdapat
beberapa luka tusukan di tubuhnya, jadi kemungkinan besar perempuan ini tewas
kehabisan darah. Tapi ia tidak ingin mengambil kesimpulan secepat itu,
terkadang hal pertama yang terbesit justru adalah suatu kesalahan. Di bibir perempuan
itu terlihat butiran Kristal berwarna coklat. Lalu, di bagian tangan perempuan
itu terdapat memar biru yang terlihat seperti telapak tangan manusia. Entah
siapa, tapi jelas-jelas orang itu tidak ingin perempuan muda ini lolos dengan
mudahnya.
Selanjutnya,
Detektif Ratih memeriksa keadaan suaminya di kamar tamu. Melihat pakaian
laki-laki ini dipenuhi darah, Ratih mulai melihat-lihat apakah terdapat luka
tusuk di bagian tubuhnya, ternyata terdapat luka sayatan memanjang di lengan
kanannya.
“Tampak jelas
ini adalah kasus pembunuhan- bunuh diri,” kata seseorang di ambang pintu. Ratih
segera memfokuskan pandangannya, lalu tersenyum.
“Di mata seorang
yang awam, tentu akan kelihatannya seperti itu, Detektif Alfin.” kata Ratih
sinis.
“Beda darimu, aku
melihat apa yang ada di depan mataku,” balas Alfin.
“Berarti kau
mudah tertipu,” kata Ratih, kembali memeriksa mayat Mr. Butterham. “Kau tidak
boleh percaya segala sesuatu yang terpampang di hadapan matamu, terkadang ada
sesuatu yang jauh lebih rumit yang tidak bisa di lihat oleh penglihatanmu. Kau perlu
menganalisanya lebih mendalam sebelum bisa mengatakan demikian,”
Alfin tersenyum
kecil. “Aku tidak bekerja seperti itu, aku mengikuti instingku, itu cara yang
lebih mudah. Bukankah begitu?”
“Mungkin,” jawab
Ratih. “Kapan kau sampai disini? Aku tidak mendengar suara mobilmu.”
“Aku jalan,”
“Oh, begitu,” kata
Ratih. “Apa kau tahu penyebab kematian mereka?”
“Aku tidak tahu
dengan pasti sebelum tim otopsi memeriksa mereka. Tapi menurutku, laki-laki ini
tewas dengan menyayat tangannya sendiri, sebut saja tindakan bunuh diri setelah
membunuh istrinya.”
“Tapi, mengapa?”
tanya Ratih dengan perasaan bingung dan gusar.
“Ya … mungkin
dia merasa menyesal karena membunuh istrinya. Lagipula, aku mendapatkan
informasi bahwa mereka adalah pasangan suami-istri yang harmonis, tapi harmonis
tidak berarti kau tidak bisa membunuh istrimu sendiri. Mungkin saja dia
membunuh istrinya karena emosi, lalu menyadari kesalahannya, lalu bunuh diri.”
“Bukan itu
maksudku,” kata Detektif Ratih, langsung membuat Alfin mengerutkan alis. “Lalu,
apa maksudmu?” tanyanya.
“Kemarilah,”
perintah Ratih. Detektif Alfin berjongkok di samping Detektif Ratih. “Kau lihat
sayatan pisau di lengan kanannya, lalu pisau di tangan kanannya? Bukankah
menurutmu ini adalah suatu kejanggalan? Dia tidak mungkin menyayat lengan
kanannya dengan pisau di tangan kanannya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana
caranya. Itu hal yang mustahil.”
Alfin tampak
diam selama beberapa detik. “Mungkin awalnya dia menyayat tangan kanannya
dengan pisau di tangan kirinya, lalu menukar posisi pisau setelah itu.”
jawabnya.
“Tidak, tidak,”
sanggah Ratih. “Kau akan kehilangan fokusmu setelah itu. Biasanya orang akan
menjatuhkan pisaunya atau paling tidak terus mengenggamnya di tangan yang sama.
Menukar posisi pisau … kemungkinannya nyaris nol.”
“Jadi, kau
berprasangka laki-laki ini tidak bunuh diri?”
“Tepat sekali!” kata
Ratih dengan semangat. “Apa kau sudah berbicara dengan para saksi mata?”
Alfin mengangguk
cepat. “Aku sudah. Mereka adalah dua janda muda yang terserang syok karena
melihat pembunuhan, jadi aku tidak bisa mendapatkan informasi yang cukup
berharga dari mereka. Aku sudah menyuruh mereka pulang, lebih baik kita
menunggu besok agar mereka bisa tenang kembali.”
“Aku harus
berbicara dengan mereka,”
“Aku ragu kau
bisa mendapatkan apapun dari mereka. Ingatan seseorang akan buyar ketika mereka
terserang atau dalam kondisi syok, sehebat apapun orang itu dalam mengingat, mirip
seperti orang amnesia, tapi dengan efek yang lebih singkat.”
Ratih tetap
bersikeras. Ia berdiri dari posisi jongkoknya, memandang matanya kebawah
melihat Alfin. “Tidak, Alfin, aku harus bertemu dan berbicara dengan mereka.
Aku lebih hebat dalam menggali informasi daripada kau.”
Alfin terdiam
sejenak, memikirkan bagaimana pun cara dia mengatakannya, Ratih akan terus
bersikeras ingin bertemu dengan para saksi mata. Selama bertahun-tahun
mengenalnya, Alfin jelas-jelas mengenal sifatnya. Jadi, menolak keinginannya
jelas-jelas tidak mungkin.
“Oke, aku akan
mengantarmu ke mereka, tapi aku ragu kau bisa mendapatkan apapun dari mereka,”
kata Alfin. “Dasar pemaksa.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ayo agan-agan jomblo maupun yang engga, silahkan comment. Hatur Nuhun sa Nuhun nuhunna