Bila hidup mengajarkanku sesuatu, yaitu aku tak boleh meremehkan apa yang Tuhan berikan padaku. Namun, harus selalu kuingat bahwa semua yang ada akan kembali lagi padaNya.
Putri sampai sekarang tak mengerti mengapa semuanya berlalu begitu cepat, seperti alir angin yang berhembus singkat. Berdiri bersamaku, Putri mengacungkan jarinya, menempatkannya pada bibirku. "Tak usah berkata apa-apa. Seandainya kamu memang memiliki perasaan terhadapku, lebih baik tak usah kau ungkapkan sebelum kau betul-betul yakin. Dunia ini suatu saat akan berhenti berputar, tapi aku harap kau tak kan pernah berhenti mencintaiku."
Aku terbisu oleh tatapan matanya yang sayu, lidahku mendadak kelu. Aku pingin bertanya apakah dia memang memiliki perasaan yang sama terhadapku. Apakah dia mencintaiku kembali. Tapi ... Entah kenapa aku tak mampu.
"Jika hatimu itu memang diperuntukkan untuk aku, maka aku tak perlu khawatir. Karena ... Aku percaya, hati yang ditakdirkan untuk bersatu akan selalu menemukan jalan pulangnya, walau sudah menempuh jarak jauh sekalipun." Putri berkata. "Jika memang kita ditakdirkan untuk bersama, kita pasti menemukan jalan untuk kembali pada pelukkan masing-masing. Tapi, kau harus berjanji padaku, bahwa kau tak akan menyumpah benci jika takdir yang tertulis untuk kita berbeda dari harapanmu."
Kepalaku mengangguk tanpa sadar, menjanjikan sesuatu yang sesungguhnya tak bisa kupegang.
"Bagus," kata Putri. "Harapan yang belum pasti sebaiknya jangan terlalu di pegang, aku pernah merasakan bagaimana remuknya hatiku saat menemukan masa depanku begitu berbeda."
Namun, aku tak setuju denganmu, Putri. Bila kau berhenti tuk berharap, maka apa yang sebenarnya ingin kau gapai di dunia ini. Biarlah sebuah harapan tumbuh mekar dalam hatimu, agar kau selalu tahu bahwa kau berjuang untuk sesuatu, mempunyai alasan agar kau tak kan berhenti berusaha. Aku tak punya keberanian tuk mengatakan kata-kata itu. Karena aku merasa ... Kau yang lebih tahu soal harapan ... tahu bagaimana sakitnya sebuah harapan itu ketimbang diriku.
"Mau aku beritahu sesuatu?" Putri tiba-tiba bertanya, matanya menatap tepat bola mataku. Aku pun mengangguk kikuk. "Apa kau tahu alasan mengapa langit sering menangis?"
"Tidak ... Aku tidak tahu." Kataku seadanya.
Putri tersenyum simpul saat berkata, "Karena langit selalu merasa sendirian, ia pernah berharap ingin seperti rembulan yang bersinar ditemani bintang-bintang. Pernah berharap menjadi sungai yang mengikuti arus tenang yang menjadi sumber kehidupan. Pernah berharap ingin menjadi bunga mawar yang mengeluarkan harum romansa yang menyatukan adam dan hawa. Pernah berharap menjadi alasan atas tersenyumnya orang-orang di bumi. Maka langit menangis karena ia tak mungkin bisa seperti apa yang ia inginkan. Jika air matanya jatuh mengenai kita, kita pun akan mencercanya, membencinya, yang semakin membuat langit menangis. Tapi ... Langit tak pernah meninggalkan kita. Ia selalu di atas sana, berusaha melindungi kita biar pun kita menganggapnya remeh. Pada kenyataannya, jika tak ada langit, maka segala sesuatu yang kita lihat saat ini, tak mungkin ada."
Aku terdiam. Tak mengerti alasan mengapa Putri tiba-tiba mengatakan demikian. Ketika aku bertanya, dia pun menjawabku dengan senyuman sedih.
"Aku ingin kau seperti langit, yang tak akan meninggalkan aku meski aku membencimu. Aku ingin kau seperti langit, yang rela berkorban apapun demi mempertahankan senyum di wajahku," kata Putri lirih. "Aku ingin kau seperti langit, yang akan selalu menemaniku di saat aku merasa tersia-siakan..."