Dari dunia muram, aku mencoba
melangkah kedepan.
Dari bayangan kelam kehidupan, aku
mengepakkan sayap.
Terbang tinggi, menuju tangga surga
keabadian-Mu.
Sepanjang
hayatku, selalu saja terpampangkan keputusaan yang begitu sejati, membalut
tubuhku dan sangat sukar untuk dilepaskan. Aku adalah apa yang mereka sebut
sebagai bayangan sang surya. Berlindung dibalik mentari pagi, bernaung dari
spektrum cahayanya yang memancarkan kehidupan penuh warna yang begitu berarti.
Akulah
sang pegawai bayangan dari perusahaan farmasi terbesar di seluruh Asia
tenggara. Hidupku, kupertaruhkan dalam karir yang begitu tidak menjamin. Tapi
bodohnya aku karena telah memberikan hampir satu dekade hidupku demi membuat
para atasan penghisap darahku senang. Kini, aku duduk sendirian diatas kasur
dalam kamar hotel yang begitu suram, pada malam yang tak menampakkan iluminasi
bintang-bintang.
Aku
menyadari kesalahanku, yang membuatku seperti sekarang ini. Inilah hasilku mengejar tujuanku! Yang
menjadikan aku sebagai manusia kelam dan penuh dusta. Karena kreasi dustaku,
aku kehilangan segala yang kucintai. Istriku yang begitu setia menemaniku dalam
hidup penuh cobaan ini, akhirnya memutuskan untuk meninggalkanku. Anakku secara
tragis meninggal karena kurangnya perhatianku padanya. Tapi … aku tidak
menyalahkan siapapun kecuali diriku, karena aku menyadari bahwa ini semua
merupakan tanggungan dosaku.
Aku adalah Imam dari semua
keputusanku!
Dalam
dunia muram ini, aku menarik napas, menghirup oksigen yang sudah dikotori oleh
orang-orang yang hanya mempedulikan materi dan jabatan … termasuk juga diriku.
Aku menegakkan kaki, menyentuh karpet biru yang mengilusi seakan aku berada di
tengah laut Pasifik.
Aku
menilik kepalaku ke kanan, menatap pintu kaca yang terbuka lebar dalam kamarku,
desiran dinginnya malam segera terasa menyentuh pipiku. Sekejap membuat
otot-otot wajahku seakan mati rasa dalam bekunya malam.
Disini, semua keraguan kini harus
dimusnahkan.
Aku
melangkahkan kaki, mendekati tubuhku yang seratus-delapan puluh sentimeter pada
pintu kaca terbuka itu. Semakin dekat, aku merasakan hawa kengerian yang
membalut tubuhku yang hanya tertutupi oleh kemeja sutra merah dan celana kain
hitam.
Merasakan
kedua kakiku membeku, aku terus merayapkan kakiku, mendekati tralis besi putih
yang berkilau terkena pantulan cahaya dari lampu langit-langit balkon. Aku lalu
menurunkan kepalaku, menatap alam dibawah kakiku.
Di
bawahku, jauh di bawahku, tampaklah hamparan genteng-genteng merah yang
bagaikan lautan api. Dalam kota indah penuh cerita ini, banguanan-bangunan
klasik berdiri kokoh melewati cobaan waktu berabad-abad. Di bagian utara, aku
melihat sebuah kubah besar yang mengelilingi awan kegelapan disini. Dihiasi
oleh keramik hijau rumput yang begitu mengesankan.
Sungguh … semua keraguan memang
harus disingkirkan.
Aku menjangkaukan tanganku keatas,
mencekam jemariku pada tralis tinggi dan mengangkat segenap berat tubuhku,
bertekuk lutut, lalu berdiri goyah diatas tralis besi yang lebarnya hanya
beberapa sentimeter. Pinjamkan aku
sayapmu, wahai malaikat Jibril yang setia menemaniku, demi terbang menjauhi
kehampaan dan semakin mendekat pada surga keabadian.
Dalam
detik-detik terakhirku, aku memberanikan diriku untuk melihat kebawah, dan aku
menahan napas atas gambaran yang kulihat.
Aku melihat wajahmu.
Diantara
hamparan genteng-genteng merah, kau mendongak kepalamu dalam kefanaan, menatapku
dengan mata yang begitu sembab seakan kau habis menangis sepanjang malam ini.
Sesungguhnya, setiap tetesan air matamu adalah kelemahanku, sedangkan setiap
jengkal dari senyummu adalah penguatku, karena kau adalah bidadariku. Tapi
kini, aku mohon agar kau mengerti … Aku memang harus melakukan ini.
Tidak ada cara lain. Aku tahu apa
yang semestinya kulakukan.
Suara Adzan segera
terdengar lantang disini, mengalun harmonis ditelingaku dengan makna-makna
sendu, yang menanggilku untuk menghadap pada Tuhan yang Maha Kuasa. Maafkan aku … Wahai umat manusia, karena
kalianlah yang akan menjadi korban atas apa yang telah kulakukan.
Demi membersihkan dunia dari para
manusia busuk dan terkutuk, sebagian umat manusia yang baik memang harus
dikorbankan. Sebagai syarat menuju dunia utopia yang diidamkan sejak
peninggalan Nabi Muhammad SAW.
Suara Adzan
merebak langit-langit malam, dengan itu kuikuti makna kalimatnya, memejamkan
mataku rapat-rapat dan meresapi maknanya yang begitu mengetarkan jantungku.
Ya
… Mari menuju kemenangan.
Aku membisikkan
kata maafku padamu, wahai tercinta. Dan dengan itu, Aku segera melangkahkan
kakiku kedepan …. Mengakhiri hayatku dengan terjatuh masuk kedalam alam
kematian yang sudah ditentukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ayo agan-agan jomblo maupun yang engga, silahkan comment. Hatur Nuhun sa Nuhun nuhunna